2. Libur

141 59 30
                                    

Matahari masih belum sepenuhnya muncul, tetapi sudah ada sorang remaja perempuan dan balita laki-laki tengah berada di depan kamar Arsenio, tangan keduanya tidak berhenti mengetuk pintu kamar yang tertutup. Dengan mulut yang berteriak, bermaksud membangunkan penghuni di dalam sana.

"Bangun yuu!"

"Om, ayo bangunn!"

Arsenio mendengus kesal mendengar teriakan dari arah pintu kamarnya, tidur nyenyaknya jadi terganggu karena suara itu.

"Bangun dan semangat, bangun dan semangat."

"Bangun! Bangun! Bangun!"

Arsenio yang sudah tidak tahan mendengar teriakan dari kedua bocah di luar pun langsung menyibakkan selimut yang ia pakai secara kasar, dengan mata yang masih mengantuk ia berjalan untuk membuka pintu dan kini rasa kantuk yang ada pada diri Arsenio sudah bercampur dengan rasa kesal saat melihat dua bocah yang tak lain adalah keponakannya sendiri sedang memandanginya sambil tersenyum pongah, kemudian tanpa dosa mereka masuk ke kamar Arsenio begitu saja.

"Ada apa, sih? Ganggu orang lagi tidur aja! Ngapain udah di sini pagi-pagi?” gerutu Arsenio pada kedua ponakannya.

"Di suruh sarapan sama oma," jawab Arjani, satu-satunya perempuan yang ada di kamar itu.

“Kamu dari Bogor jauh-jauh ke sini karena disuruh sarapan sama oma?” tanya Arsenio sekenanya.

Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh omnya membuat Arjani mengelus dada.

“Bukan begitu konsepnya Om, inginku berkata kasar.” Arjani mengangkat tangannya, ingin sekali dia menjambak Arsenio.

Tanpa memedulikan perkataan Arjani, Arsenio langsung berjalan menuju kamar mandi untuk sekadar mencuci muka, setelah itu ia keluar menemui sang ibu. Membiarkan Arjani dan si kecil Argani berada di kamarnya, lagi pula kamarnya belum dirapikan jadi tidak masalah.

Dari arah tangga, Arsenio dapat melihat ibu dan kakak perempuannya yang ada di meja makan. Mereka terlihat sedang asyik mengobrol sambil sesekali tertawa, bahkan ia sampai heran apa yang sebenarnya mereka bahas. Sesampainya di meja makan, Arsenio langsung mengambil satu lembar roti tawar kemudian memakannya.

"Anak bujang enak banget baru bangun langsung makan," sindir kakak Arsenio yang sedang menatap adiknya dengan sinis.

Arsenio santai saja mendapat sindiran dari sang kakak, dirinya bahkan masih santai mengambil satu roti lagi.

"Kenapa? Iri ya, Mbak,” balas Arsenio sambil mencelupkan roti ke dalam gelas yang berisi susu.

"Apa? Iri, enggak ada sejarahnya seorang Kalea iri," jawab sang kakak kemudian mengibaskan rambut panjangnya.

Arsenio memicingkan mata tak percaya, "Kalau enggak iri ngapain nyindir-nyindir?"

"Siapa yang nyindir? Mbak biasa aja,” sanggah Kalea tidak ingin kalah.

"Udah diem, ribut terus kalau ketemu," ujar Mila yang sudah pusing mendengar perdebatan mereka.

Selalu begitu, kakak adik yang satu ini tidak pernah akur bila bersama. Padahal mereka berdua sudah sama-sama dewasa, bahkan Kalea sudah memiliki dua orang anak. Tetapi sifat mereka tidak pernah berubah, selalu saja membuat Mila naik pitam.

"Mbak itu, Bu, yang duluan," adu si bungsu Arsenio.

"Jangan percaya, Bu. Arsen-nya aja yang emosian," kilah Kalea karena tak mau disalahkan.

Mila menghela napas kemudian beranjak dari sana, "Sudah jangan ribut terus, kepala ibu jadi pusing."

Arsenio mengangguk-anggukkan kepalanya, "Iya, Bu. Arsen juga pusing, ngapain Mbak Lea ada di sini."

Kalea merupakan ibu tunggal dari Arjani dan Argani, tepat satu tahun lalu suaminya berpulang ke sisi Tuhan. Sebagai seorang ibu, dirinya tidak ingin kembali menyusahkan orang tuanya yang sudah tidak sebugar dulu dan untuk memenuhi kebutuhan kedua buah hati ia kemudian bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan. Setelah delapan bulan ditempatkan di Bogor Kalea mendapatkan kabar bahwa ia dimutasi ke daerah tempat tinggal kedua orang tuanya.

"Sudah di bilang mbak dimutasi ke kota ini, padahal waktu itu sudah bilang," balas Kalea dengan tangan yang fokus mengupas jeruk.

"Aku kira bukan hari ini."

"Lebih cepat, lebih baik."

"Om ayo jalan-jalann!" teriak Argani dalam gendongan Arjani yang menuruni tangga.

Suara anak kecil itu mampu membuat kakak beradik yang ada di meja makan menoleh.

"Om, ayo jalan-jalan," ucap Argani lagi saat Arjani sudah menaruhnya di pangkuan Arsenio.

Karena gemas, tangan Arsenio terulur untuk mengelus rambut balita itu. "Ayo, tapi om mandi dulu. Tunggu, ya."

Setelah selesai dengan makanannya, Arsenio memindahkan Argani ke tempat duduknya dan langsung menuju kamarnya untuk mandi.

***

 
Kini Arsenio, Arjani, dan Argani sudah berada di taman yang selalu ramai oleh masyarakat.

“Kamu mau jajan atau nongkrong dulu, Jan?" tanya Arsenio yang sedang menggandeng Argani.

“Jajan dong.” Pastinya Arjani akan memilih opsi pertama yang merupakan tujuan utama dia datang ke sini, tidak sia-sia dia menghasut adiknya untuk meminta omnya jalan-jalan.

Arsenio langsung memberikan beberapa uang di dompetnya dan menyerahkannya pada Arjani membuat gadis itu berjingkrak senang. Si kecil Argani yang memperhatikan kakaknya sontak ikut berjingkrak hingga orang-orang menatapnya gemas.

“Kalian jajan dulu, om mau ngambil HP di mobil.” Arjani mengangguk dan pergi menuju pedagang makanan yang sudah berjejer di samping taman.

Siapa yang mau dijajanin sama Arsenio??

Selalu pantau instagram @krna9._.sasky untuk dapet spoiler gemas dan follow wp @Naka_Queenaka untuk dapet notif update ceria Garis Fana

Garis Fana [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang