🔹 01 - Yoga dan Warung Bang Asim

93 16 26
                                    

Suasana siang di depan SMA 1 yang luar biasa sumpek, pengap dan dipenuhi asap knalpot dari kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan dua arah sudah menjadi makanan sehari-hari. Sering kali terdengar hujat-menghujat dan maki-memaki di sana, entah karena tabrak atau kelakuan para cowok sekolah sebelah yang suka melempar batu ke sekolah tersebut.

Para siswa-siswi mulai berlalu lalang menunggu jemputan, hingga adzan dhuhur terdengar, tempat itu masih tetap ramai seperti biasanya.

Bel pulang telah lama berbunyi, seorang cowok dengan rambut disisir rapi, pakaian bersih dan wajah tampan berseri keluar dari sekolahan bagaikan pangeran pinggir jamban, dia membenarkan rambutnya sambil melepas kacamata hitam. Saat itu, para siswi terus menatapnya salah tingkah.

Kalau kalian mengira dia adalah tokoh utamanya, maka kalian salah.

Di seberang jalan terlihat seorang cowok dengan tampang kucel, sebatang rokok di tangan hasil mencuri dari saku teman, tas compang-camping menyerupai gembel sedang berjongkok di depan teras sebuah toko kelontong, diam-diam mengumpati para cowok SMA yang 'sok iye'.

Bagas, namanya. Siswa SMK 05 yang nilai di raportnya sebelas dua belas dengan warna partai Banteng Merah. Asap keluar dari hidungnya yang terus mendengkus kesal, hari ini dia tidak masuk lagi ke kelas. Karena guru kesayangannya akan datang dan memberi perhitungan dengan menjitak dan memaksanya ini-itu, jika tidak dia pasti mengancam mengadukan tingkah lakunya ke mamaknya.

Urusan dengan Guru, Bagas tidak peduli. Tapi jangan dengan mamaknya yang super garang itu, diadu dengan singa pun, mamaknya bisa mengaum lebih ganas sampai singanya lari.

"Woi, Gas."

Bagas tertegun, melepehkan sisa rokok dari mulutnya.

"Apa?"

Si pemilik warung, siapa lagi. Namanya Asim. Perawakannya seperti koko-koko cina dengan buntalan besar di perutnya, pakai baju kutang putih diangkat ke atas sampai perutnya nampak. Laki-laki itu tidak seperti bapak-bapak, dia bahkan lebih terlihat seperti anak muda dan berteman dengan para berandalan dari SMK 05. Bagas kenal betul orang itu, bukan sebagai teman atau seorang pemilik warung yang terhormat.

Tapi sebagai tempatnya mengutang kalau sudah tidak punya uang jajan.

"Bayar utang kau, lah!"

Ultimatum pertama, Bagas tertohok.

Kakinya ingin berlari kencang sebelum laki-laki itu mengamuk, Asim lantas menahan bahunya dari belakang sembari melemparkan ultimatum kedua,"Tiga puluh dua ribu lima ratus, dari satu tahun kemarin belum juga kau ganti. Buku bon aku pun udah lima kali kocar-kacir kecebur banjir, masih belum nampak juga uang yang kau utangin itu!"

Bagas menyengir bodoh, sampai Asim ingin sekali menyumpal mulutnya dengan bungkus rokok.

"Kalau ada uang udah gua ganti kok, tenang aja lah! Selow." Bagas menepis tangan Asim diam-diam, laki-laki itu balik mencengkram bahunya sambil melotot.

"Jangan banyak kali bah cakap kau itu! Dari jaman batu lagi kau janji manis, bayar sekarang!"

"Lah emang situ udah lahir dari jaman batu?"

"Aku jadi batunya!" pekik laki-laki itu berjengkit kesal, wajah putih kinclongnya memerah. Dia mengeluarkan ultimatum terakhir yang seketika membuat Bagas mati kutu.
"Kau bayar sekarang, gak mau tau aku. Berapa saja terserah. Malas kali pula aku beradu mulut dengan kau. Macam ada manfaatnya."

Bagas menggaruk kepala, memutar otak. Dia rogoh sakunya pun mustahil ada uang di dalam, kantung celananya saja sudah robek tidak pernah dijahit. Mungkin ada tuyul menyempil di dalam sakunya sampai uangnya selalu hilang entah ke mana.

BagaskaraWhere stories live. Discover now