🔹7 - Masa Lalu, Menunggu, Lagu Kenangan

41 4 4
                                    


"Kalau lu merasa hidup lu seperti simulasi neraka, dengan mengakhirinya sekarang lu bakal berada di neraka sebenarnya."
Tyas


Mata Bagas mulai gelap. Seperti dirasuki iblis di dalam dirinya, dia ingin membunuh Razta detik itu juga. Tetapi masih ada saja suara yang menahannya.

"Udah, Gas. Gua gak kenapa-kenapa, diembus doang sembuh nih, kita balik sekarang. Males diliatin orang."

Bagas mengepalkan tangan keras, wajahnya memerah menahan marah. Selalu saja Tyas seperti itu.

Ketika dia terluka, Tyas selalu mengatakan dia baik-baik saja sambil tertawa bodoh.

Tyas pernah mengatakan dia sangat membenci dirinya sendiri. Melebihi udara yang dia hidup dan jantungnya yang masih terus berdetak.
Kebencian terhadap dirinya membuatnya lebih peduli dengan orang lain.

Terkadang Bagas ingin memarahinya tetapi dia tahu Tyas tidak pernah mendengarkan perkataannya. Hanya sedikit yang Bagas ketahui tentang Tyas dan keluarganya. Walaupun sering dicampakkan dan diperlakukan semena-mena, dia tetaplah Tyas. Tyas yang tidak pernah Bagas kenal seutuhnya.

**

"Tyas!!"

Seseorang bocah kelas 8 SMP menoleh di tengah kerumunan, di antara semua murid yang bergandengan tangan dengan orang tuanya, hanya dia yang sendirian di sana.

"Wih, Gas!" Dia mengangkat tangan antusias. Saat Bagas berlari ke arahnya dia malah melewati Tyas dan berhenti di depan kambing nyasar di sekolah.
"Tyas! Apa kabar, woi! Lama gak jumpaa," teriak Bagas dengan alay.

"Ya ampyun Bagas titisan dajjal. Itu mbek bukan gua." Tyas memberenggut. Bagas terkikik. "Sama aja, lu kan sodaraan sama embek," kilahnya.

Beberapa detik tidak ada tanggapan Bagas menoleh ke samping dan terkejut bukan main, Tyas sedang mengangkat sebuah kursi sambil melotot.
"Begone you motherparker!"

"Tolong ada orang kerasukan!!"

Untung Bagas selamat, tapi kepalanya tidak selamat karena dua benjolan besar mulai terlihat di jidatnya.

"Lu gak ngambil raport?" tanya Tyas setelah beberapa saat dengan pandangan melihat ke depan. Saat ini mereka duduk di pinggiran teras mengamati lalu lalang. Sudah hampir jam 11, nama-nama murid pun mulai dipanggil. Bagas menggeleng.

"Yang ada kena tampol kalo mamak liat nilai gua udah kayak kertas kebakaran. Merah semua."

Bagas sekilas melihat Tyas, "Lu sendiri?"

"Bentar lagi juga diambil, ini gua lagi nunggu."

Satu jam menunggu hingga jarum jam menunjuk angka 12, Tyas mulai gelisah. Bagas masih menunggu, sambil melihat kesedihan yang mulai perlahan nampak di wajah Tyas.

"Mereka mungkin lagi sibuk ya, hahaha." tawanya terdengar canggung, tak lama kemudian guru wali kelasnya datang menanyakan di mana orang tua Tyas. Dia menjawab dengan suara yang tertahan, namun Bagas tahu, ada sesak di dadanya yang membuat Tyas hampir menangis.

Adzan mulai terdengar. Sekolah perlahan sepi. Tyas dan Bagas masih di tempat yang sama. Terdengar suara kecil dari Tyas, bernyanyi di tengah sepi yang mulai hadir di antara mereka.

"Saat kau berharap, keramahan cinta, tak pernah kau dapat ... Ya, sudahlah."

Bagas menoleh ke arahnya. Itu adalah lagu kesukaan mereka berdua. Lantas dia ikut bernyanyi bersama Tyas.

"Apa pun yang terjadi, ku kan slalu ada untukmu ... Janganlah kau bersedih, 'cause everything's gonna be okay ...."
Bagas berhenti bernyanyi saat menyadari perubahan di wajah Tyas, dia dapat merasakannya walaupun hanya melihatnya. Melihat Bagas berhenti bernyanyi, Tyas berbicara setengah berbisik.
"Hah ... andai gak perlu orang tua buat ngambilin raport udah gua ambil sendiri. Gua gak mau nyusahin mereka."
Dia menatap Bagas. "Kalau emang gak datang, gua minta ortu temen gua aja buat ambil. Kayaknya bisa."
Tyas melihat sekelilingnya, tapi tidak ada siapa pun yang dikenalnya. Kebanyakan teman-temannya sudah pulang.
Lagi-lagi wajah Tyas murung.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 18 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

BagaskaraWhere stories live. Discover now