Chapter 4

439 55 4
                                    

"Play time is enough
Now, tea time!"

.
.
.

"[Name]?"

Tentu saja, Teru cukup terkejut. Biasanya, harus selalu dirinya yang berinisiatif mengambil langkah dalam mendekati dirimu. Namun, apa yang baru saja ia alami saat ini benar-benar di luar dugaannya. Ia membalas pelukanmu, tersenyum malu-malu, meskipun kau tidak dapat melihatnya. Butuh beberapa menit hingga kau menyadari tingkahmu, segera saja kau melepaskan diri.

Semburat merah menghiasi pipimu sejenak, irismu mengalihkan pandangan, tak ingin bertatapan dengannya, "Ah, maaf, Teru-san! Aku tidak bermaksud untuk memelukmu. Hanya saja, aku ... merasa senang karena kau datang ke sini."

"Tidak apa, kau bisa memelukku sepuasmu, kok," balasnya dengan senyum bahagia yang masih bertengger bebas di wajahnya. Lantas, ia menggenggam tanganmu, melangkah seraya menarikmu keluar dari pintu.

Kebingungan karena sosok di hadapanmu, kau pun memalingkan wajah. Tetapi, beberapa detik kemudian kau dan dia mengerjapkan mata, begitu pula Aoi dan Akane yang hampir saja berciuman. Segera, kau melotot pada Teru yang tengah memasang ekspresi polos, seolah tidak merasa bersalah.

"Hup," ujar Teru.

"Hah ... Ketua OSIS?" Akane membeo, speechless.

"Wah, jangan-jangan ... apa aku mengganggu, ya?" tanyanya pada Akane, menggaruk pipinya yang tak gatal seraya tersenyum.

"PULANG SANA!"

Pemuda berambut oranye itu berteriak kesal sembari mengepalkan tangannya. Sementara, wajah Aoi memerah dan terdiam. Ini adalah pertama kali, kau menemukan dirinya bersikap seperti itu. Lalu, Akane kembali berujar, masih dengan nada sebalnya, "Mau apa kau datang ke sini, Ketua? Bahkan sampai membawa [Last Name] segala. Kalau mau pacaran, tahu tempat, dong."

"Hm, sikapmu kasar sekali, ya. Padahal aku sudah jauh-jauh datang menolongmu. Ya, kan, [Name]?" tanyanya seraya mengulas senyum, namun senyuman itu mampu membuat bulu kuduk merinding. Kau memalingkan wajah saat Akane dan Aoi menatapmu, seolah meminta penjelasan dari balik tatapan mereka berdua. Tak ingin menjawab, pemuda berambut oranye kemerahan itu lekas kembali bertanya.

"Menolongku dengan Ao? Ada angin apa ... kau tiba-tiba begini?" Sama, Akane, sama. Kau bergumam, jika Teru memperlakukanmu seperti itu, maka kau akan mencurigainya pula.

Teru merogoh kantungnya, memperlihatkan kacamata milik Akane lalu membalas, "Sekarang obon, kan? Sebagai putra sulung dari keluarga exorcist, aku berniat untuk patroli ringan di sekitar sekolah. Eh, tahu-tahu banyak makhluk supernatural berkeliaran, bahkan [Name] pun hilang, padahal tasnya masih ada. Dan ada yang beginian jatuh juga, jadi kupikir mungkin saja terjadi masalah. Nah."

Pemuda yang selalu membantu kerjaan Teru itu terdiam sembari menerima kembali kacamata miliknya dengan ekspresi facepalm, "O-oh ... makasih."

"Yah, tidak perlu berterimakasih padaku. Kalau [Name] tidak hilang untuk mencari kalian, mungkin aku tidak akan menolong kalian," ia mengendikkan bahu, sementara kau melotot padanya, ingin segera mengoreksi kalau kau ikut terseret paksa dalam segala permasalahan ini. Tetapi, ia tidak ambil pusing.

"Senpai sembarangan saja bicaranya," gumammu, menggeleng kepala.

Lalu, tiba-tiba, genggaman pada tanganmu mengerat semakin kuat. Teru tersenyum, namun nampak tersirat dari ekspresinya bahwa itu adalah senyum miris juga disertai rasa bersalah. Kau mengerjap, kebingungan akan tingkahnya yang seperti itu, tetapi tidak ingin menanyakannya padanya.

Graduation ⇢Minamoto Teru × Reader [✓]Where stories live. Discover now