Chapter 2

490 63 22
                                    

"No wonder, she looks so small
and scared, like a rabbit."

.
.
.

Menghabiskan waktu dengan berdingin di ruang OSIS tidak membantu dalam menenangkan dirimu akibat kejadian tadi. Dalam diam, Teru melirikmu, memperhatikan dengan seksama seraya menarik sudut bibirnya. Sungguh menarik, menatap berbagai ekspresimu yang berganti hanya karena sebuah mobile game.

Ia menopang dagunya, tersenyum kecil, "Memangnya apa yang kau mainkan? Apa semenarik itu?"

Sontak, kau menjeda permainanmu, berpikir sejenak, "Hm ... bagaimana bilangnya, ya, Senpai. Hal seperti ini menenangkan hatiku. Jadi, bisa kubilang jawabannya adalah, ya."

"Benarkah? Kalau begitu, mungkin kapan-kapan aku harus mencobanya. Apa kau ada rekomendasi?" tanyanya sembari memiringkan kepala. Sesaat, kau berantusias untuk memberitahunya, namun niat itu segera sirna ketika pikiran negatif menghampirimu.

Dan berharap agar ia berada di dunia yang sama sepertimu?

Refleks, kau menampar dirimu sendiri, membuat kedua sosok yang berada di ruangan OSIS tersebut tersentak kaget akan tingkahmu. Kau mendelik ke arah Teru, sementara pemuda itu menahan napas sembari mengulas senyum canggung dan penuh kebingungan. Lantas, kau pun menjawab, tak ingin memenuhi rasa penasarannya, "Aku tidak akan memberitahunya padamu, Senpai. Kau tidak akan mengerti."

"E-eh, baiklah ... kalau itu maumu," ujarnya kikuk sekaligus kecewa. Melihat dirinya memasang ekspresi seperti itu, hampir saja membuatmu luluh. Tetapi, dengan cepat raut wajahnya berganti menjadi senyuman seperti biasa, "sebagai gantinya, kau tidak boleh pergi dari sisiku, ya?"

"Hah?"

Kau dan Akane membeo bersamaan. Sempat menatap satu sama lain, seolah tengah melakukan percakapan melalui telepati, meskipun pada kenyataannya adalah tidak bisa. Tetapi, kalian berdua segera paham. Kau berbisik padanya, "Kau kenapa bisa lama bekerja di bawah naungan orang begini, hah? Lebih baik kau perhatikan Aoi-chan saja sana."

"Yah, kau sendiri, kenapa bisa terperangkap di sini juga, hah? Hanya orang bodoh yang berada bersamanya," sindirnya ikutan kesal. Tidak menyadari bahwa ia adalah salah satu sekian dari orang bodoh tersebut.

Mendapati kalian berdua yang sibuk dalam dunia sendiri, pemuda pirang itu mengulas senyum sebal, rasanya ingin merajuk dan menarik Akane ke dalam lingkaran penuh mantra agar ia tak bisa bergerak. Teru lantas memutuskan untuk melangkah dan memeluk dirimu dari depan, melemparkan tatapan tidak suka pada sosok yang sering membantunya dalam pekerjaan OSIS tersebut.

Kalau sudah begini, Akane bisa apa? Ia hanya perlu mundur agar tidak menyulut lebih kemarahan sang ketua, meskipun dalam hati ingin sekali mengomel. Kau terdiam, tak bisa lepas, dan detak jantungmu semakin cepat.

"Hmph," sahutnya, ngambek, tak ingin melepaskan dirimu dalam dekapannya.

Apa ini?
Apakah ia adalah anak-anak dalam tubuh remaja?

Kau mencoba melepas pelukannya, namun nihil, tak berhasil. Sebenarnya, mengapa ia bertingkah kekanakan seperti ini? Dipikirkan pun, kau tak akan dapat memahaminya. Lantas, kau mengangkat suara, "Teru-senpai, sesak ... bisakah kau melepaskannya?"

"Oh, astaga!" serunya panik, menyadari karena ulahnya, dirimu hampir saja terluka. Dekapannya mengendur, tawa canggung ia berikan sebagai respon, merasa tidak enak denganmu, "maafkan aku, ya, [Name]?"

Senyum bak malaikat yang memelas, namun kau tahu pasti bahwa ekspresi di hadapanmu saat ini adalah salah satu tipu muslihat agar kau segera memaafkan segala perbuatannya. Helaan napas lolos dari bibirmu, lalu kau pun memalingkan wajah, menatap ke arah lain seraya melipat kedua tangan di depan dadamu, "Terserah Senpai saja."

"Haha, memang kau sangat baik sekali. Terimakasih, [Name]!"

Ia hampir saja mengeratkan kembali pelukannya jika saja Akane di belakang kalian berdua tidak memasang ekspresi jijik. Lelaki berambut oranye itu mau tak mau meninggalkan ruangan, sudah tak tahan lagi. Ya, doakan saja ia masih selamat saat kembali berhadapan dengan sang ketua.

Kini, hanya kalian berdua saja di ruangan.

Pemuda bermarga Minamoto itu mengerjapkan matanya, menyadari sesuatu. Dengan cepat, ia menyahut di samping telingamu, "Ah, benar juga! [Name], sampai kelulusan ini, bisakah kau berjanji untuk di sampingku tiap ke sekolah? Yah, tentunya di luar jam kelas."

"Huh? Kali ini, apa lagi yang kau rencanakan, Teru-san?"

Kau menyipitkan mata, memandang curiga padanya. Ia tidak akan mengadakan kegiatan membasmi hantu yang mengikutimu seperti festival lalu, bukan? Apa pun itu, kau tidak ingin terlibat lebih dengan dunia mereka lagi.

Merasa tidak dipercayai olehmu, ia mengembungkan pipi, semakin mendekatkan wajahnya padamu. Entah kenapa, menghabiskan waktu bersama pemuda ini malah membuatmu mengetahui berbagai sisi dari dirinya. Tidak, kau tidak membenci Teru, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadamu. Sebuah perasaan asing yang terus-terusan saja mengganggu pikiranmu.

"Ah, kapan kau akan percaya padaku? Tenanglah, bukankah sudah kubilang, aku akan selalu melindungimu?" ujarnya dengan nada bertanya, berusaha memastikan agar dirimu aman. Intonasi dalam kalimatnya membuatmu merasa dapat menyerahkan hal ini padanya. Anggukan pelan kau berikan sebagai respon. Teru menarik sudut bibirnya, membentuk senyuman hangat yang tak pernah kau lihat selama bersama orang lain.

Pelukan telah lepas, kau segera menjauhkan diri. Iris biru itu menatapmu lekat, seolah tengah menyidik satu persatu bagian dari dirimu. Tentu, ada perasaan tidak nyaman yang terselip. Tetapi, kau nampak tidak bisa menolaknya.

Dalam diam, kau kembali memainkan game-mu yang sempat tertunda. Tak menyadari sosok Teru yang memandang tajam ke arah jendela. Di luar sana, terdapat tiga sosok familiar.

Hanako, Nene, dan adiknya, Kou.

Tangan Teru yang berada dalam saku celananya kian mengerat tatkala irisnya bertemu dengan iris Hanako. Namun, ia menyeringai sembari bergumam, "Hm ... di luar berbahaya sekali, bukan, [Name]?"

Mendengar namamu dalam gumamannya yang sayup-sayup, kau menengadah, mendapati sosoknya yang mengeluarkan aura mengerikan. Perlahan, kau duduk menjauhinya.

"Ugh, dia kenapa lagi? Kenapa pakai menyebut namaku segala?" desismu merinding. Memutuskan untuk hendak keluar, sontak saja dicegat olehnya. Ia menggenggam pergelangan tanganmu dengan erat, seolah mampu menghancurkannya kapan saja. Kau mengerjap, menahan napas karena merasa tertekan. Kau pun memanggilnya, "S-senpai?"

"Fufu, kau mau kemana, [Name]?"

"Aku ... aku mau keluar. Kayaknya tadi, Akane pergi mengerjakan tugas kelas, deh," jawabmu, mencari-cari alasan.

"Eeeh? Kau mau meninggalkanku sendiri di sini?"

Lagi, ekspresi memelas dan merengek itu lagi. Kau mendesah pelan, nampaknya sudah jengah dengan siklus berulang ini. Tapi, mau lepas bagaimana? Kau membatin kesal, 'Jadi Akane boleh pergi mengerjakan tugas, sementara aku tidak, begitu?'

"Baiklah, aku akan menemanimu sampai pulang."

Kau menyerah, tidak ada gunanya melawan dirinya. Kilauan cahaya terpancar di iris biru jernihnya. Cengiran terbentuk, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu berjalan menuju mejanya seperti seorang anak kecil yang kegirangan. Kau menghela napas, kembali duduk. Mungkin, memperhatikan Teru yang mengerjakan tumpukan tugas OSIS tidak buruk juga.

Graduation ⇢Minamoto Teru × Reader [✓]Where stories live. Discover now