"Sakit pala gue! Anying lo, Bar!" umpat Ilham masih mengusap kepalanya. Biasa. Ilham memang jagonya kalau diminta untuk mendramatisir keadaan. Padahal sebenarnya timpukan Akbar tidak sesakit itu.

"Bukannya nggak suka. Gue masih shock aja sama sikap Gala yang sekarang, Bar. Kayak aneh aja. Aneh banget!"

"Nggak mungkin juga Gala kesurupan," sahut Alan tiba-tiba. "Orang Gala setannya."

Semua orang, termasuk Gala, kini menatap ke arah Alan dengan tatapan terkejut. Namun, tak lama setelahnya mereka menyemburkan tawa. Kecuali Gala. Cowok itu justru melempar satu kuasnya hingga membuat Alan yang tadinya asyik membaca buku di atas karpet harus berdiri untuk menghindar. Takut jika buku bacaannya terkena kuas yang masih terdapat bekas cat.

"Lo cakepan diem, Lan!" Gala mendengus kasar. Memang lebih baik Alan menjadi pendiam saja. Karena kalau cowok itu sudah mengeluarkan suara, yang ada membuat Gala ingin mengajaknya baku hantam. Gala mengalihkan tatapannya pada Ilham dan Akbar.

"Lo berdua!" tunjuk Gala bergantian ke arah mereka menggunakan jari telunjuk. "Udah nggak cakep, nggak bisa diem!"

"Kalau nggak cakep minimal mulut lo nggak bacot!"

"Buset. Ternyata sabarnya cuma buat Riri, Bar. Kalau ke kita mah tetep kayak singa kelaparan," bisik Ilham yang kini sudah duduk di sofa, di samping Akbar.

"Ngomong apa lo?!"

"Lo ganteng, Gal. Jodohnya Riri!" jawab Ilham pasrah. Daripada diterkam Gala hidup-hidup, lebih baik ia mengalah saja.

Gala tersenyum percaya diri. Namun, justru terlihat semakin menyebalkan di mata Ilham, Akbar, juga Alan. "Gue juga tau kalau itu."

"That's right. Riri emang jodoh gue."

***

"Baru pulang?"

Gala menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar. Ia berbalik badan. Merasa sedikit terkejut dengan kemunculan Agam yang tiba-tiba. Agam berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.

"Iya," angguk Gala pelan.

Jujur, sebenarnya Gala sedikit malas menanggapi pertanyaan Agam. Apalagi sekarang muka cowok itu terlihat sedikit tidak enak. Gala jadi was-was. Sepertinya ada sesuatu yang ingin Agam sampaikan.

"Kenapa, Bang?" tanya Gala memastikan.

Agam berdehem pelan. Cowok berusia dua puluh delapan tahun itu bertanya, "Lo sekarang udah semester 6, kan? Bentar lagi semester 7, terus 8. Gue harap lo bisa lulus tepat waktu."

"Gue usahain," jawab Gala dengan helaan napasnya yang berat. "Tanpa lo kasih tau, gue rasa semua orang juga pengen lulus tepat waktu. Termasuk gue."

Bukannya memang seperti itu? Semua orang juga ingin lulus tepat waktu. Hanya saja, terkadang, waktu yang tepat untuk setiap orang itu berbeda-beda definisinya.

"Makanya gue mau bilang. Berhenti dulu buat habisin waktu lo untuk gambar-gambar kayak gitu. Fokus ke kuliah. Lagian setelah lulus, lo yang akan lanjutin bisnis bokap lo. Jadi gambar-gambar kayak gitu nggak akan berguna nantinya."

"Gue nggak ngelarang hobi lo. Tapi gue cuma mau, lo bisa nempatin dengan benar, apa yang harusnya menjadi prioritas lo," tambah Agam.

Gala menatap dua kanvas berukuran 30×30 cm di tangannya dengan tatapan pasrah. Lalu beralih menatap Agam dengan anggukan pelan. "Iya."

Karena malas berdebat, lebih baik Gala iyakan saja apapun yang Agam katakan. Meski sebenarnya, jauh dari lubuk hatinya, Gala ingin memprotes ucapan Agam yang menurutnya terlalu menuntut.

BUCINABLE 2 ; More Than Home Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu