#Prolog

10 3 0
                                    

Badai hujan tak henti-hentinya melanda wilayah perkotaan, begitu pula dengan petir dan angin yang selalu menjadi kekhawatiran para warga. Banyak pohon tumbang, genteng rumah beterbangan, dan ombak besar sehingga para nelayan tak mampu berlayar untuk mencari nafkah. Sungguh miris bencana tahun ini, orang-orang yang tinggal di kolong jembatan mulai gusar. Mereka takut jika nantinya sungai atau kali yang selama ini hidup bersama, memilih untuk menenggelamkan mereka. Mencari tempat baru sangatlah sulit. Namun, hal itu yang harus mereka lakukan demi bertahan hidup.

Lain halnya dengan keluarga Ghandara. Mereka kini hidup tenang dengan segala kebutuhan yang terpenuhi. Tapi mereka lupa akan bahaya yang selalu mengintai. Seperti halnya saat ini, tulang punggung keluarga mereka ditemukan tak bernyawa dengan luka bakar 100% di pinggir tempat pembakaran sampah. Berita mengejutkan itu terjadi setelah seminggu sang ayah tak kunjung pulang saat diumumkan akan terjadinya badai hujan di wilayah tersebut. Ketujuh anaknya tak menyangka, jika mereka tak lagi bisa bertemu sang ayah. Bahkan si sulung marah pada dirinya sendiri, karena orang terakhir yang bertemu sang ayah adalah dirinya.

Tangis keluarganya tak pernah surut. Walau sudah dua minggu acara pemakaman sang ayah dilangsungkan. Kini rumah mereka tak lagi utuh. Satu pilar utama yang menjadi penyangga sudah hancur, dan tak mungkin bisa dibangun kembali.

...

"Raka, bangun, nak. Bunda sudah masakin sarapan untuk kamu." Suara lembut itu membuat sang empunya nama tersenyum. Ia meregangkan otot-ototnya yang sedikit kaku akibat tidur terlalu lama. Matanya berbinar kala melihat sosok wanita yang sangat ia kagumi. Bagaimana tidak? Bundanya ini terbilang wanita tegar, karena disaat semua anaknya menangis, hanya dia seorang yang berusaha kuat agar bisa menjadi penopang untuk ketujuh putranya yang rapuh.

"Bunda, adek gimana?" Satu pertanyaan yang membuat Bundanya terdiam seketika.

"Adek masih pada tidur. Mereka mungkin masih capek, jadi jangan diganggu dulu, ya. Sekarang lebih baik kamu mandi, terus ganti baju sekolah, habis itu kita sarapan berdua, nanti Bunda yang antar kamu ke sekolah. Oke?" ucap bunda.

"Oke!" balas Raka semangat. Ia langsung berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Bunda memilih turun untuk menyiapkan kebutuhan putra sulungnya.

Hari itu semua aktivitas berjalan dengan lancar, hingga si sulung kembali kerumahnya. Namun, saat ia baru saja membuka pintu rumah yang besar itu, Raka tidak lagi menemukan teriakan yang selalu ia dapat disaat dirinya sampai dirumah.

"Kok sepi. Bunda sama adek ke mana? Ga biasanya ninggalin rumah sampai kosong kayak gini," gumam Raka.

"Loh! Abang sudah pulang? Kok ga ada yang ngasih tau Bunda!" Suara teriakan khawatir yang berasal dari arah pagar rumah membuat Raka berbalik dan tersenyum senang. Ia melihat sang Bunda bersama dengan adik bungsunya yang berumur 1 tahun tengah berjalan cepat kearahnya.

"Hehehe ... maaf Bunda. Tadi guru-guru di sekolah ada rapat, jadi pulangnya di cepetin. Terus mungkin pak satpam ga liat aku jalan keluar, jadi lupa ngasih tau ke Bunda," ucap Raka.

"Hah! Untung kamu baik-baik saja. Ya sudah, ayo kita masuk ke rumah. Bunda sudah beli bahan makanan untuk makan malam kita."

"Asyik! Nanti malam kita bakal makan bareng."

Ketiga insan itu masuk ke dalam rumah dengan senyum bahagia. Bahkan sang adik yang ada di gendongan Bunda sangat bahagia mendengar suara antusias sang Kakak.

...

"Bunda! Eca pulang!"
"Aren juga!"
"Jojo juga!"

Suara teriakan dari si trio yang baru pulang ke rumah setelah bermain seharian, mengejutkan sang Bunda yang tengah sibuk di dapur. Ia langsung menimpali teriakan itu dan meminta ketiga anaknya untuk segera membersihkan diri. Tanpa berpikir panjang, si trio yang sudah mendapat perintah langsung melengos pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Dead Killer Where stories live. Discover now