Part 1

8 9 2
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam, itu tandanya kurang setengah jam lagi toko buku ini akan tutup. Seperti biasanya dijam-jam seperti ini toko buku akan sepi, mungkin akan hanya ada satu sampai tiga pengunjung yang datang. Itupun hanya orang-orang yang sekedar numpang duduk sambil menunggu jemputan, pura-pura membaca buku biar tak diusir. Biasanya yang rajin menegur pengunjung seperti itu adalah Ajeng, teman kerjaku. Kalau aku pribadi malah senang dengan hal seperti itu karena toko buku tak sepi dan satu yang paling terpenting, aku tak harus selalu berduaan dengan Ajeng.

Sebenarnya di toko buku ini ada tiga pegawai, satunya bernama Aldi. Tapi cowok itu tipe-tipe orang yang pendiam dan tidak suka bergaul. Biasanya setelah pekerjaannya selesai dia akan duduk dipojok sambil membaca buku ditemani dengan segelas susu. Culun, kalau kata Ajeng. Tapi ya sudahlah, jangan termakan omongan cewek itu. Selama aku mengenal Aldi menurutku dia itu teman kerja yang cukup baik karena mau jika disuruh-suruh. Hehehe...

"He, Ki! Ini novel lo?" tanya Ajeng sambil menyodorkan sebuah novel yang masih terbungkus plastik rapi. Aku langsung mengernyitkan dahi bingung. 

"Itu ada di laci kasir paling bawah. Perasaan gue nggak beli novel kok, kalau lo juga enggak beli paling novel itu punya si kutu buku"

"Iya. Ini gue yang beli" jawabanku mencegah langkah Ajeng yang ingin menghampiri Aldi. Cewek berambut pirang itu langsung berekspresi tak percaya sambil menarik paksa novel yang kugenggam.

"Hah! seorang Riski Aditiya beli novel? beneran lo Ki?!"

"Mulai kapan lo jadi suka baca, ha?! Jangan-jangan lo ketularan Aldi. Gue mohon Ki... udah deh please jangan! Gue enggak mau lo berubah jadi culun" daripada cewek itu terus ngoceh dengan suara cempreng yang bisa membuat gendang telingaku rusak, akhirnya aku memutuskan untuk langsung berkemas. Pulang.

"Dengerin nih, ya. Gue beli novel ini karena authornya pacar gue! Jadi mulai sekarang  jangan ganggu gue, oke?" candaku dengan wajah serius yang berhasil membuat Ajeng menghentakkan kaki, sebal.

Mungkin jika dihitung sudah ada empat kali cewek itu mengungkapkan perasaannya padaku, malah mengajak untuk berpacaran. Nembak kalau bahasanya anak muda. Aku tolak karena alasannya simpel, ibu melarang aku pacaran. Jika seandainya suatu saat aku melanggar, tentu bukan Ajeng alasanku.

Sebenarnya ucapanku tadi hanya kujadikan cara agar Ajeng berhenti berbicara. Biasanya kalau sudah seperti itu dia akan marah lalu pergi, cemburu katanya. Tapi ya sudahlah. Apa pedulinya aku dengan perasaan dia? toh besok dia akan kembali menyapa ramah. Malah jika boleh jujur sebenarnya lebih terkesan genit. 

"Di, gue pulang dulu ya? nutup tokonya lo sama Ajeng. Soalnya gue buru-buru mau ke rumah sakit" yang dijawab acungan jempol oleh Aldi. 

"Oh, iya. Sama sekalian anterin Ajeng pulang. Kan lo berdua rumahnya searah"

Sengaja ucapan terakhir agak sedikitku tekan, menjaili Ajeng yang saat ini sudah duduk dengan bibir manyun. 

                                  ***

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam"

Aku melangkah menghampiri ibu yang kini sedang terbaring lemah diranjang rumah sakit. Ibu tetap tersenyum hangat seperti biasanya, meskipun dari raut wajah terlihat kondisi ibu yang  jauh dari kata baik. Ibu kritis. Satu bulan terakhir ini penyakit paru-paru basah ibu kembali kambuh dan kemarin adalah puncaknya, hingga terpaksa langsung kubawa ke rumah sakit tanpa persetujuannya. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Menunggu Esok Pagi Where stories live. Discover now