Prolog - Lutut Kopong

825 67 1
                                    

**

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

**

T

elingaku berdengung. Rasanya menyakitkan. Aku limbung. Hingga merasa melayang.

Namun, beberapa saat menunggu, aku tidak mencium tanah.

Aku lantas meraba-raba bagian bawahku.

Kosong.

Apa aku masih melayang?

Aku ingat betul tadi sedang berada di tangga dan menuruninya bagai orang mabuk yang linglung.

Ekspektasiku adalah aku mendarat di ujung anak tangga dengan hidung berdarah dan dikerumuni orang-orang serta berakhir di rumah sakit.

Namun, sepertinya itu hanya ekspektasiku.

Sebab saat aku membuka mata, aku malah menemukan sorot mata khawatir.

"Astaga Kania kamu gak papa? Badan kamu panas. Kamu demam. Kenapa malah di luar sih? Pasti kamu belum makan."

Suara itu. Sorot mata itu. Lengannya yang kokoh dan hangat. Menopang tubuhku.

Lidahku jadi kelu. Tak bisa berkata-kata.

Kemunculannya tidak terduga.

Luasnya kota Seoul seakan percuma.

Sia-sia saja aku pindah apartemen dan memulai hidup baru selama satu setengah tahun ini jika kembali bertemu dengannya dan hatiku menghangat begitu saja.

Kakiku lemas.

Bukan karena rasa sakit di perutku dan kepalaku yang berat, tapi karena aroma parfumenya, suaranya dan jujur saja sosoknya, sukses membuat lututku kopong.

Ia menuntunku untuk duduk di undakan anak tangga paling bawah dan agak tersudut.

"Hoshi bisa beliin roti di sana?"

Aku mendongak dan membulatkan mata saat melihat Hoshi mendekat.

Cowok itu tampak pura-pura acuh meski aku mendelik padanya.

Jeonghan kembali menatapku, aku langsung buang muka.

"Kania kenapa kamu ada di sini?"

"Aku kerja di gedung itu Kak," tunjukku ke arah gedung dua puluh lantai di belakang kami.

Ia mengangguk.

"Kakak kenapa bisa ada di sini?"

"Kita abis syuting gose di sebrang sana. Terus mau main basket bentar di lapangan itu, eh tiba-tiba ada cewek yang mau pingsan. Aku samperin dan ternyata kamu."

Jeonghan hendak menempelkan punggung tangannya di dahiku.

Aku langsung menjauh.

Seketika suasana jadi akward. Sebelum semakin parah. Aku lantas berdiri.

"Makasih Kak udah nolongin aku, kalau gak ada Kakak mungkin aku udah jatoh. Tapi, maaf aku harus pergi."

Tanpa menunggu jawaban dari Jeonghan, aku melangkah menjauh, memberhentikan taksi dan segera masuk.

Taksi langsung melaju setelah aku memberitahu alamat apartemenku.

Sesaat, aku menguatkan diri untuk tak berbalik, namun aku kalah.

Aku lantas berbalik dan melihat Jeonghan berdiri di pinggir jalan menatap lurus pada taksi yang membawaku pergi.

Rasanya seperti deja vu.

Lagi dan lagi aku melarikan diri.

**

Revisi : 17 Mei 2023

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Revisi : 17 Mei 2023

Mine (✔)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant