"Nggak gitu, Gal. Gini loh maksud gue." Ilham mengalungkan kameranya ke leher lalu melipat tangannya dengan tatapan menerawang jauh ke depan. "Gue dukung banget kalau lo mau perjuangin Riri mati-matian. Dukung banget! Asal, untuk melakukan semua perjuangan lo itu, lo nggak boleh ngerugiin diri lo sendiri."

Ilham menjeda sebentar ucapannya. "Gue nggak suka lihat lo sakit tapi lo malah lebih peduli ke orang lain. Berapa kali gue ingetin, yang selamanya ada buat lo selain Tuhan, itu cuma diri lo sendiri. Jadi, sebelum mencintai orang lain, sebelum lo peduli ke orang lain, lo harus mencintai dan peduli ke diri lo sendiri dulu."

"Contoh simpelnya gini. Misal lo lagi sakit, tapi Riri minta tolong buat anterin ke suatu tempat. Kalau itu bukan hal yang urgent, lo bisa nolak dan jujur. Bilang aja lo nggak bisa nganter dia karena sakit. Gue yakin seratus persen, justru dengan cara lo jujur kayak gitu, Riri bakalan peduli sama lo. Dan ke depannya kalian bisa saling memahami satu sama lain."

"Jangan lo iya-iyain aja meskipun lo sakit. Jangan berjuang melebihi kapasitas yang lo miliki." Ilham menoleh ke samping. Ia mendapati Gala tampak merenung. Entah merenungkan ucapannya atau sekedar melamun karena merindukan Riri. Cowok itu memang susah ditebak melalui ekspresi.

"Lo boleh jatuh cinta dengan perasaan yang gila. Tapi lo nggak boleh jatuh cinta sampai bikin lo jadi gila."

"Terus lo ke Nenda gimana?" tanya Gala menoleh ke Ilham. "Bukannya lo juga gila gara-gara dia? Udah tau nggak bakal disukain balik. Tapi masih ngejar."

Ilham menjawab dengan decakan kasar. "Beda. Itukan dulu. Sekarang gue nggak mau terlalu ngejar dia dan malah buat dia nggak nyaman. Gue mah ngejar sewajarnya aja. Kalau capek istirahat dulu. Ntar ngejar lagi. Nggak kayak lo, mau capek, mau sakit, mau pingsan, gas terus."

"Udah, udah, sana pergi!" usir Gala. Lama-lama ia tidak jadi melukis karena kelamaan mendengarkan ceramah Ilham.

Gala menatap dirinya dan Ilham. Lalu menatap ke sekeliling mereka. Membandingkan dengan orang-orang yang ada di sana. Di taman ini banyak sekali pasangan cowok cewek yang tengah duduk berdua, bersantai sambil mengobrol.

"Ngapain kita jadi duduk dan ngobrol berdua kayak orang pacaran gini sih?!" emosi Gala menggeser duduknya lebih jauh dari Ilham. "Pergi! Pergi!"

Ilham berdiri dari duduknya. Membiarkan Gala kembali melanjutkan kegiatan melukisnya yang sempat tertunda. "Siapa bilang berdua? Orang tadi gue dateng ke sini nggak sendi--nah! Tuh Caca dateng!"

Mengangkat kepala, Gala mengikuti arah pandang Ilham. Terlihat dari arah yang tidak terlalu jauh, seorang cewek dengan rambut sepundak yang dibiarkan terurai berlari kecil ke arah mereka sembari membawa dua botol minuman dingin.

"Itu tetangga yang sering recokin lo itu, Ham?" tanya Gala penasaran.

Beberapa kali Ilham sempat bercerita mempunyai tetangga perempuan yang masih SMA dan sering merepotkannya. Namun, baru kali ini Gala melihatnya secara langsung selain. Biasanya hanya melihat di sosial media Ilham.

"Iya, lihat aja tuh dari mukanya aja udah kelihatan kalau dia nyebelin dan beban," kekeh Ilham. "Tapi mayan lah bisa nemenin gue kemana aja kalau gue butuh temen."

"Cantik, Ham," puji Gala. "Cocok sama lo. Daripada Nenda."

Ilham ingin memprotes ucapan Gala, sayangnya detik selanjutnya Caca berteriak memanggilnya dengan panggilan khusus yang cewek itu berikan.

"KAIL!!! KAIL!!!"

"Kail apaan anjir?!" Gala mendumel pelan mendengar Caca berteriak dengan suara cempreng dan wajahnya yang berseri-seri menunjukkan keceriaan.

Namun, saat melihat senyum Ilham, Gala justru merasa heran. Tidak biasanya sahabatnya itu terlihat biasa saja saat dipanggil dengan nama panggilan aneh oleh orang lain. Apalagi oleh cewek.

BUCINABLE 2 ; More Than Home Where stories live. Discover now