"Mentang-mentang mobil punya lo. Begitu lo, sama suami?"

Adel berdecih. Gaven selalu saja mengungkit tentang status mereka yang sebenarnya masih bikin dirinya geli-geli gimana, gitu. Maklum, namanya juga sejak dulu mereka hanya berteman saja. Mana mungkin mereka berdua langsung terbiasa dengan status itu. Kayaknya juga yang sudah pacaran bertahun-tahun lalu menikah, tidak akan langsung terbiasa.

"Hadeh, yaudah deh besok lo aja yang pake mobilnya buat berangkat kerja."

"Serius? Gue sih nggak masalah kalau lo mau nganter-jemput gue tiap hari, Del."

"Lo enak, gue yang misuh-misuh tiap hari karena kejebak macet!" Adel menggeplak bahu Gaven. "Lagian mobilnya juga nggak kepakai."

"Emangnya lo nggak pengin jalan-jalan nantinya?" Gaven membelokkan mobil ke arah kiri. "Gue nggak masalah lho, kalau lo pengin pergi main. Sebelum nikah kan juga lo begitu, dan gue juga nggak bakal mempermasalahkan uang yang bakal lo habisin."

Adel hanya mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan oleh suaminya. Ceilah, suami. "Iya, gue tau. Tapikan lo tahu sendiri kalau gue juga nggak punya banyak temen. Gue mau jalan-jalan juga akhirnya pergi sama lo, Gav."

"Iya juga, sih."

"Nah, lo nggak perlu khawatir bakal punya istri yang boros." Adel menepuk dadanya bangga. "Gue malah pengin kerja lagi deh, Gav. Boleh, nggak?"

Dan dengan meluncurnya pertanyaan tersebut dari mulut Adel, Gaven langsung menginjak rem secara mendadak. Untunglah mereka sudah berada di parkiran sebuah tempat belanja, jadi mereka tidak mendapatkan makian dari pengendara yang lain.

Wah, kampret juga nih si Adel. Bisa-bisanya membahas yang begituan di situasi seperti ini.

"Kenapa sih, Gav?! Kaget amat lo denger omongan gue?!" Adel yang nyaris jantungan kini malah jadi marah-marah pada Gaven. Lelaki itu benar-benar payah!

"Lo sih, kalau ngomong nggak lihat situasi. Gue lagi nyetir begini malah lo bahas pengin kerja lagi." Gaven misuh-misuh sendiri, tidak memedulikan Adel yang kini malah sedang mencibirnya.

Padahal kan apa yang dikatakan Adel juga tidak sepenuhnya serius. Itu hanya sebuah pikiran yang terlintas di kepalanya. Toh mereka juga menikah karena ingin lepas dari perjodohan oleh orang tua, atau apalah itu namanya.

Jadi ya seharusnya hubungan pernikahan mereka tidak mengubah apapun. Hidup Adel dan Gaven bisa berjalan seperti biasa, sebelum ada status pernikahan di antara mereka. Bedanya hanya kini mereka tinggal bersama, dan bisa melakukan hal-hal dewasa yang sebelumnya bahkan tidak pernah terpikirkan oleh mereka berdua.

Sisanya? Ya seperti biasa, kan? Memangnya apa yang perlu berubah? Nafkah? Tagihan listrik dan kebutuhan rumah? Lah, itu mah bisa ditanggung berdua kalau saja Adel diperbolehkan untul bekerja lagi. Kalau tidak? Ya mau tidak mau Gaven harus bekerja keras, dan Adel juga harus menjadi lebih pengertian dan berhati-hati dalam pengeluaran.

"Nggak jadi kerja deh, Gav. Gue males apply sana-sini. Palingan nanti kalau gue gabut banget di rumah nggak ada kegiatan, ya gue bantuin Mama di toko kali, ya?"

"Terserah." Gaven melepaskan safety belt miliknya, dan milik Adel. "Yang penting lo harus bilang. Kegiatan apapun yang lo lakukan, lo harus laporan ke gue."

"Dih, siape lo?!"

"Suami lah, Gilak!"

"Oh iya, lo kan suami gue, ya?" Adel tertawa. "Oke deh, kayaknya kalau urusan lapor-melapor gampang lah itu."

"Beneran, ya? Biar gue merasakan peran baru gue sebagai suami, nih."

Lalu, keduanya tertawa sebelum akhirnya mereka berjalan beriringan menuju tempat belanja perabotan rumah yang katanya lengkap. Gaven dan Adel berkeliling untuk melihat barang-barang yang menurut mereka cocok untuk di taruh di rumah baru mereka. Mulai dari sofa, lampu kamar, ranjang, almari, bahkan beberapa perintilan yang sebenarnya tidak penting-penting amat, tapi mereka setuju untuk membeli karena demi keindahan rumah mereka berdua.

Oh, dan jangan lupakan perdebatan mereka di depan pramuniaga yang memandunya sejak tadi. Heran banget, mereka malah tidak terlihat seperti pasangan suami istri karena tidak terlihat harmonis sama sekali.

"Sofanya yang krem aja, Gav!"

"Yang hitam aja. Kalau krem cepet kotor, Adelaide."

"Nggak! Warna krem lebih estetik dan enak dipandang, Gaven!"

"Yang hitam lebih mudah perawatannya, Istrikuuuu."

"Lo pilih krem, atau hitam?"

"Hitam."

"Lo pilih hitam, atau nggak dapat jatah?"

"Hitam," jawab Gaven cepat, tidak menyadari jawaban yang ia lontarkan.

"Okeh, ambil yang hitam aja."

...

Kalau tulisanku agak aneh, gapapa yaa wkwkwk. Udah lama bgt gak nulis, jadi aku harus belajar lagi dari awal.

Dan satu lagi, cerita ini just for fun, so jgn berekspektasi tinggi thdp cerita ini yaa cintanya akuu. Love you.....

Love, Pulpenabu

आप प्रकाशित भागों के अंत तक पहुँच चुके हैं।

⏰ पिछला अद्यतन: Feb 07, 2023 ⏰

नए भागों की सूचना पाने के लिए इस कहानी को अपनी लाइब्रेरी में जोड़ें!

Just Let's Do Itजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें