Pria itu hanya membalas perkataan Lilith dengan anggukan tanpa suara. Ia memilih bungkam dan mengedarkan pandangannya pada seisi ruang tengah sambil menilai-nilai apakah ada perabotan yang kurang cocok di matanya dan perlu ia ganti dengan yang baru.

Sejujurnya, terdapat hal yang sedikit mengganjal di pikiran Lilith. Terkait tinggal bersama pria asing, jelas suatu hal yang mungkin bisa menjadi bumerang baginya suatu saat nanti. Pasalnya Lilith akan segera debut menjadi seorang penyanyi solo, ia akan dikenal banyak orang, namanya akan menjadi sorotan di publik, maka sudah pasti ia pun akan menjadi sasaran empuk bagi para jurnalis dan wartawan jika kedapatan tinggal bersama seorang pria di apartemen. Kariernya dipertaruhkan. Dan yang lebih membuatnya pusing lagi adalah fakta bahwa ia telah memiliki seorang kekasih.

Karena melamun sejenak, tanpa Lilith sadari kini pria itu telah berjarak lima meter darinya, berdiri di depan sebuah lukisan abstrak berukuran empat puluh kali empat puluh sentimeter. Pria itu terlihat tengah memperhatikan setiap detail dari lukisan itu.

Dan pada detik yang sama, manik Lilith memandang tubuh sang pria dari bawah hingga atas. Lantas mendadak terheran-heran bagaimana bisa pakaian sesederhana itu bisa membuat seorang pria terlihat sangat tampan. Rasanya memang benar, bukan pakaian yang membuat seseorang terlihat menarik, melainkan value yang dimiliki orang tersebut.

Detik berikutnya, sang pria menoleh, membuat Lilith terkejut dan langsung membuang pandangannya ke arah lain. Astaga, benar-benar memalukan! Lilith tertangkap basah sedang memperhatikan pria itu dengan lekat. Beruntungnya, belum sempat suasana berubah menjadi lebih canggung, pria itu membuka suaranya. "Apakah kau punya aturan khusus?"

"Tidak." Lilith menggeleng. Ucapannya terjeda sejenak. "Tapi bolehkah aku menempati kamar utama?" tanyanya dengan nada yang sedikit menggebu, sebelum akhirnya merasa menyesal karena telah menanyakan hal itu. Pasalnya sang pria tak kunjung memberi jawaban, justru hanya menatapnya dengan tatapan elusif. "Ah ... itu tidak akan terjadi jika kau keberatan," tambah Lilith agar tak merusak suasana. Astaga, ia telah melakukan hal bodoh untuk kedua kalinya.

Alih-alih langsung menjawab, justru sang pria kini tertawa lirih, membuat Lilith merasa kebingungan karena tak tahu di mana letak humor dari perkataannya barusan. Apakah pria itu menertawakan ekspresi canggung Lilith? "Tentu. Tentu kau boleh menempatinya." jawabnya setelah lima detik berlalu.

Lilith mengangguk canggung. "Terima kasih."

"Silakan lakukan apa pun yang bisa membuatmu nyaman selama kita tinggal bersama," lontar sang pria seraya berjalan mendekati Lilith.

Mendengar hal itu, Lilith mengembangkan senyumnya. Ia merasa pria itu menyambutnya dengan baik. Mungkin mereka bisa menjadi teman akrab nantinya. "Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan." Lilith mengulurkan tangannya. "Kim Lilith," ucapnya dengan ramah.

Di dalam ruangan yang akan menjadi tempat mereka berteduh bersama, tangan kedua insan itu mengait bersama suara berat dari sang pria yang mengalun dengan lembut. "Jeon Arche. Kau bisa memanggilku Jeon."

Pada detik yang sama, pria yang bernama Jeon itu memuja vista yang ditangkap oleh kedua pupil matanya. Pemandangan akan wajah cantik yang terpidas oleh cahaya mentari yang masuk melalui bentangan kaca persegi. Kendati bibirnya bungkam seribu bahasa, tetapi hatinya terus-menerus mengutarakan pujian untuk sosok cantik yang dilihatnya.

"Baik, Jeon. Aku harap kita bisa menjadi teman akrab ke depannya."

Sopran yang mengalun penuh energi itu sukses menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Baginya, Lilith benar-benar menarik, terlebih tatapan tajam wanita itu teramat spesial untuk selalu ia ingat. Bahkan aroma mawar Bulgaria yang merebak dari tubuh wanita itu pun telah melekat di dalam ingatannya. Sejak pertemuan pertama, hingga detik ini.

Want to See My Cat?Where stories live. Discover now