Riri menjeda ucapannya sejenak sebelum kembali berceloteh sendiri. Ia beralih menopang dagunya di atas meja belajar sambil meniup dan memainkan poni depannya yang tipis itu. "Apa karena Riri belum ketemu sama Gala, ya? Apa karena Riri juga datengin tempat-tempat itu nggak sama Gala, ya? Jadi Riri tetap ngerasa biasa aja? Nggak bisa ngerasain perasaan happy kayak dulu?"

Riri menegakkan badannya seraya mengacak-acak rambut. Sekarang Riri mengganti posisi duduknya dengan menyandarkan punggung ke kursi belajar. "Ih! Riri sebenernya pengen banget ketemu dan ngobrol sama Gala! Tapi Riri...takutttt."

Menghela napas kasar, Riri memajukan bibir bawahnya dan kembali bertopang dagu dengan satu tangan. "Nanti Riri pasti deg-degan banget kalau ketemu sama Gala. Riri grogi. Terus kalau Gala udah ada pacar baru, nanti Riri bisa dimarahin sama cewek barunya. Soalnya dulu waktu Riri jadi pacar Gala, Riri juga gitu. Suka marah-marah kalau lihat Gala deket sama cewek lain. Meskipun cuma ngobrol," lanjutnya merasa semakin bingung dengan dirinya sendiri yang sangat labil.

Di satu sisi Riri ingin cepat-cepat bertemu dengan Gala. Namun, di sisi lain, Riri mempunyai banyak pertimbangan yang harus ia pikirkan matang-matang terlebih dahulu.

"Riri takut kalau kehadiran Riri cuma membuat hidup Gala jadi berantakan lagi."

Semenjak hari itu, hari di mana Gala berhenti mengirimkan surat-surat untuknya. Berhenti meminta maaf dan mencoba menjelaskan kesalahpahaman mereka sewaktu berkomunikasi melalui surat, Riri berpikir bahwa mungkin Gala sudah lelah memperjuangkan dirinya. Gala sudah menyerah dan memilih untuk tidak mengganggunya lagi.

Awalnya Riri memang merasa biasa saja. Bahkan merasa senang sekaligus lega karena ia tidak lagi menerima surat-surat yang hanya berisi permintaan maaf itu dan tidak lagi terganggu oleh kedatangan tukang pos yang mengantar surat Gala. Namun, lama kelamaan, entah kenapa, Riri merasa kehilangan. Riri merasa ada sesuatu yang kembali kosong setelah surat-surat itu berhenti Gala kirim. Dan rasa kosong yang Riri rasakan semenjak hari itu ternyata berlanjut hingga hari ini.

Apa menemui Gala secepatnya adalah pilihan terbaik untuk saat ini?

Apa menemui Gala sekarang bisa menjadi obat dari kekosongan yang ia rasakan itu?

Atau, justru sebaliknya?

Pikiran-pikiran itulah yang membuat Riri selalu bimbang dan berujung mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menemui Gala.

"Aarrrgghhh!!! Nggak tau deh! Riri pus--"

Drttt...drrtt...drrrttt....

"Hal--"

"Ri, lo udah baca chat gue belum?"

Riri kembali mengatupkan bibirnya rapat-rapat saat pertanyaan dengan suara sedikit ketus itu Shanka lontarkan begitu saja.

"Bel--"

"Baca ya, Ri. Penting buat pembahasan project kita."

"Iya, Kak." Riri menjawab sembari mengangguk meski tahu Shanka tak akan bisa melihat anggukan kepalanya.

"Sorry, ya. Gue nggak bermaksud marah-marah ke lo, cuma kalau urusan pekerjaan kita harus profesional."

"Iyaaa, Kak Shankaaa."

Riri sudah hafal betul bagaimana karakter seorang Shankara Jevandra, kakak tingkat di kampus lamanya sekaligus partner dalam project menulisnya. Dalam urusan pekerjaan Shanka memang tipe cowok yang tegas dan disiplin. Namun, di luar itu Shanka sangat humble. Tak heran jika hubungan mereka yang awalnya hanya sebatas penulis dan editor kini menjadi teman yang bisa dibilang cukup dekat.

BUCINABLE 2 ; More Than Home Where stories live. Discover now