BAB 27

243 44 2
                                    

Berkumpul di meja makan dengan perut sudah terisi penuh, kini, Jasper, Tiana dan bibi berbincang ringan. Empat centeng yang Jasper bawa juga makan di balai depan. Bibi Aminah yang awalnya terkejut melihat empat orang jawara makan singkong di depan rumahnya, berangsur-angsur tenang setelah memandang Jasper keluar dari balik pintu.

Kursinya yang menghadap ke dinding membuat mata Jasper melihat dinding yang menghitam. Rasa nostalgia menyusup ke dadanya. Tiana memang malas membersihkan dinding itu. Berdehem untuk menarik perhatian, Jasper menatap bibi Aminah.

"Saya akan menemani Tiana ke Batavia, bi. Saya yakin dia belum pernah kesana dan tidak tahu Batavia."

"Tuan Jasper setuju jika Tiana belajar di Batavia?"

"Saya sangat setuju Tiana belajar, bi. Tapi tidak di Batavia melainkan di Semarang."

Bibi Aminah dan Tiana terkejut dengan jawaban Jasper.

"Tapi dokter Liesbeth dan suaminya ada di Batavia, tuan. Dan mereka yang berbaik hati mau mengajari Tiana. Bibi ragu jika ada orang lain yang tulus mau mendidik Tiana seperti mereka, tuan."

"Tentu saja, bi. Mereka akan menjadi guru bagi Tiana. Saya akan ikut Tiana ke Batavia untuk meminta mereka datang ke Semarang. Saya butuh dokter untuk pekerja pabrik, perkebunan dan penduduk di sekitarnya. Terutama jika wabah menyebar, sangat sulit mencari dokter yang mau tinggal di daerah dekat hutan."

Jasper memang Belanda tulen, otak dan cara berpikirnya selalu mencari keuntungan di setiap keadaan.

"Neng, antarkan makanan ke rumah mang Kasman."

Tiana hendak menolak, tapi melihat raut tegas di wajah bibi, dia hanya bisa menurut. Tiana penasaran, apa yang ingin bibi bicarakan dengan Jasper sehingga bibi perlu mengusirnya secara halus.

Setelah Tiana pergi, Jasper dan bibi Aminah bisa berbicara berdua dengan lebih tenang.

"Saya punya satu permintaan yang penting sekali kepada tuan, maukah tuan mendengarkannya?"

"Tentu saja bibi, jangankan satu, sepuluh pun asalkan saya sanggup, akan saya kabulkan. Katakanlah apa yang mengganggu pikiran bibi?"

Aminah tersenyum mendengar kata-kata Jasper. Sungguh pemuda Belanda yang satu ini memang lain daripada yang lain. Tidak heran gadisnya yang angkuh itu dibuat jatuh cinta setengah mati.

"Sedari kecil Tiana sangat tertarik kepada apapun yang berkaitan dengan pengetahuan, Dokter Liesbeth selalu mengatakan bahwa dia adalah gadis yang cerdas, tapi nasibnya kurang baik karena terlahir sebagai pribumi, malangnya lagi dari rakyat jelata, bukan priyayi, bangsawan berdarah ningrat keturunan para raja. Dokter Liesbeth dan suaminya pernah meminta izin kepada mendiang ibu Tiana untuk membawanya ke Batavia, agar ia bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak disana. Sayangnya malah Tiana sendiri yang menolak tawaran itu, dia lebih senang hidup bersama ibu dan bibinya ini, ketimbang menimba ilmu ke Batavia."

Jasper mendengarkan setiap perkataan bibi Aminah dengan seksama. Dia diam tanpa menyela sedikitpun.

"Harapan terbesar saya adalah melihat Tiana hidup berbahagia, saya tau jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali belajar di sekolah-sekolah Belanda, matanya selalu hidup melihat para siswa yang memakai seragam HBS. Rasa-rasanya saya ingin menjadi nyai atau gundik sekalipun asal Tiana bisa bersekolah, malangnya tidak ada Tuan Belanda yang melirik saya. Saya hampir saja mengubur keinginan saya untuk melihat Tiana menjadi wanita sukses, tapi kehadiran tuan memberikan saya secercah harapan baru."

"Tuan akan membawanya ke Semarang, betulkah itu?"

"Benar bibi, saya dan kedua orang tua tinggal di sana, bagaimana jika bibi juga ikut dengan kami? Bibi tidak perlu khawatirkan rumah dan kebun, ada para pekerja yang akan merawatnya. Tiana tentu saja akan bahagia jika bibi juga turut serta pindah bersama kami."

Jasper & TianaWhere stories live. Discover now