ch. 2

1K 239 41
                                    


Kiba sekali lagi dipaksa untuk lembur. Selain pekerjaan yang sebelumnya belum membuahkan hasil yang memuaskan, tim editor memberikan tambahan pekerjaan untuk Inuzuka yang sudah sangat lelah itu.

Saat ini sudah jam 17.23. Hinata berencana mampir sebentar di area pasar dekat tempat tinggalnya untuk membeli sayur. Mungkin menu makan malam ini hanya sayur rebusan dan sup miso. Sepertinya sumber protein dari daging atau ikan terpaksa diganti dengan tofu. Hinata bukan vegan atau vegetarian, dia suka daging, keju, susu dan olahan lainnya. Namun kondisi dompetnya tidak memungkinkan.

Hinata mengetuk pintu ruang kerja Shino. Aburame berkacamata itu mengangkat wajahnya dari proyek yang sedang didiskusikan Kiba.

"Aku izin pulang duluan ya."

"Oke," sahut Shino.

Kiba bertanya, "pulang sama siapa?"

"Ino."

"Hati-hati," lanjut Kiba.

Pintu kembali ditutup Hinata setelah mengangguk. Ia berjalan menyusuri ruangan yang sudah nyaris gelap sepenuhnya. Jendela-jendela telah tertutup tirai krem muda. Lampu-lampu di tiap kubikel telah dimatikan. Hanya menyisakan satu lampu utama dan lampu di atas pintu kaca ganda menuju koridor yang akan membawa Hinata pada lift.

Perempuan itu kemudian menekan tombol lift, menunggu sementara mengecek lagi mantel hitamnya. Awal Desember tahun ini cuaca memang kurang ramah. Beberapa hari yang lalu bahkan sempat turun hujan yang cukup lebat dan berangin. Rasanya langit seolah menumpahkan keluh kesahnya ke bumi.

Pintu lift yang terbuka disyukuri Hinata. Beberapa karyawan lain ikut masuk ke dalam lift menuju lantai dasar. Di lobi utama, pergerakan manusia-manusia budak korporat tertuju pada titik yang sama; pintu utama gedung yang tengah terbuka lebar. Pada awal pagi dan senja seperti saat ini, pintu kaca kokoh itu memang sengaja dibuka lebar. Entah sejak kapan. Sebuah kebiasaan atau aturan yang tidak tertulis dan entah datang dari perintah siapa.

Ino terlihat berdiri di dekat meja resepsionis, telah mengganti seragamnya dan menambah kehangatan dengan mantel selutut berwarna biru muda yang cerah. Rambut pirangnya tak lagi disanggul, tapi sudah membentuk ikatan ekor kuda tinggi; ciri khas seorang Yamanaka Ino. Ia menunggu sampai Hinata tiba di dekatnya untuk kemudian berjalan beriringan dengan teman sejak masa sekolahnya itu.

"Gimana? Udah nyoba?"

"Jawabannya masih sama, kok. Aku ngga mau."

"Okelah, terserah kamu aja."

"Tapi..." Hinata menghentikan langkahnya sejenak. Keduanya kini telah berdiri di luar gedung. Mereka seharusnya melanjutkan menuju halte bus terdekat.

"Tapi apa?" Tanya Ino penasaran.

Hinata mengeluarkan ponsel dari saku mantelnya. "Ini." Dan memperlihatkan ruang chat yang masih sama.

"Siapa?" Ino memulai, "teman SMP?"

Hinata menatap Ino ragu. "Jujur, aku ngga tau."

"Kamu ga ada gitu temen SMP lain yang bisa kamu tanyain?"

"Ada sih, tapi..."

"Apa lagi? Jangan suka bikin penasaran gitu deh."

"Dia agak susah dihubungi."

"Kenapa?"

"Ponselnya jarang aktif."

"Ya coba aja dulu."

"Kok jadi kamu yang kepo sih?" Hinata tersenyum kecil.

"Ya gimana ga kepo? Ada orang yang segitu gampangnya mau ngasih kamu cuan gini!" Ino merebut ponsel Hinata sembari menggandeng Hyuuga mungil itu menyingkir. Keduanya berdiri berdekatan seperti dua orang yang berkonspirasi dalam rahasia. Tapi sungguh, mereka hanya dua perempuan muda yang jenuh pada agenda keseharian yang monoton. "By the way, kepoin akunnya dong."

Damn!Where stories live. Discover now