01

1.2K 182 17
                                    

Yowes lah, langsung ke Yoshida aja ya.
______________________________________

"Yoshida-san, aku menyukaimu!" Seorang perempuan berambut cokelat membungkuk dengan memberikan sebuah coklat di tangannya yang dibalut oleh kertas berwarna merah.

Jantung dan nafasnya memburu, matanya terpejam karena tak ingin mendengar jawaban dari laki laki berambut hitam di depannya.

Laki laki tersebut menatap coklat itu sejenak dengan wajah dingin dan datarnya.

"Berikan saja pada laki laki lain, aku tak tertarik."

Harapannya seketika hancur berkeping keping seolah olah petir baru saja menyambar hatinya.

Dia menatap laki laki yang dia sukai mulai menjauh darinya, hanya bisa melihat punggung tegap laki laki menghilang di balik tangga.

Perempuan itu hanya bisa terduduk dan berusaha menahan air matanya agar tak jatuh membasahi pipinya.

Di sisi lain, Yoshida hanya berjalan dengan santainya menyusuri tangga. Atensinya tertuju pada perempuan berambut [h/c] yang tengah bersandar pada dinding dan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

"Itu adalah perempuan ke-3 yang kau tolak minggu ini." Ucap perempuan itu saat Yoshida menghampiri dirinya.

Melihat sorot mata [e/c] yang dingin itu membuat Yoshida menarik senyumannya.

"Untuk apa menghabiskan waktu dengan perempuan normal sepertinya?" Jawab Yoshida enteng, seolah olah merasa tak bersalah karena sudah menghancurkan hati seseorang.

"Kau sama sekali tak merasa kasihan padanya? Maksudku pada ketiganya. Kau menolak mereka seperti kau mempunyai dendam pada mereka."

Yoshida tertawa pelan, perempuan ini seolah olah peduli pada perasaan seseorang dibalik sifatnya yang dingin.

"Jika aku merasa bersalah pada mereka, itu hanya akan mengganggu pikiranku seperti karakter utama di dalam novel romansa yang lemah." Jawabnya menampilkan senyuman sembari melirik perempuan di sampingnya.

"Jangan menatapku seolah olah kau menyukaiku." 

"Itu karena aku memang menyukaimu, [name]." Mendengar jawaban itu langsung membuat [name] melangkah pergi. 

"Tapi aku tidak." Dia sama sekali tak tertarik pada laki laki yang kini tengah mengekorinya dari belakang. Namun jawaban [name] hanya membuat Yoshida semakin senang.

"Aku akan tetap menyukaimu."

"Aku baru saja menolakmu untuk yang ke-7 kalinya."

***********

Pandangan Yoshida tak pernah lepas dari perempuan yang duduk di sampingnya.

Melihat bagaimana [name] memakan bekal makanannya sendiri sudah berhasil mengundang senyuman di wajahnya.

"Jika kau sangat menginginkan makananku, bilang saja. Asal kau pergi." Ucap [name] kembali menyuap makanannya.

"Kalau begitu kau akan kelaparan sampai pulang nanti. Aku tak keberatan mengangkatmu yang pingsan ke UKS jika kau mau."

[name] tak menjawab, percakapan ini hanya menurunkan selera makannya. Laki laki di sampingnya memang ahli dalam membalikkan keadaan dan dia benci hal itu.

[name] segera menutup kotak bekalnya dan berdiri, tak lupa Yoshida yang akan melakukan hal yang sama namun kotak tadi seketika terulur ke hadapannya.

"Kau habiskan saja, melihatmu tak makan sedari tadi membuatku tak tega." Yoshida menerima kotak bekal itu dengan senang hati. Apa pun akan dia terima dari orang yang ia sukai.

"Kau tak menaruh racun di dalamnya, kan?"

"Untuk apa aku memakannya kalau begitu?"

"Mungkin saja kau ingin meracuniku dan membangunkanku seperti Pangeran Salju." Yoshida menunjuk bibir bawahnya, membuat [name] spontan membalasnya dengan wajah jijik.

"Aku akan pergi membeli minuman." [name] pergi meninggalkan Yoshida yang kini tengah berduaan dengan kotak bekalnya.

Semoga saja dengan hal itu Yoshida akan berhenti mengikutinya untuk kali ini.

***********

Dua kaleng minuman berada di tangannya sekarang, entah apa yang membuatnya terdorong membeli satu lagi untuk Yoshida.

Mungkin karena dia takut laki laki itu mati tersedak? Nanti dia yang akan membayar biaya perawatan Yoshida.

Langkah kakinya membawanya kembali ke atap dimana Yoshida masih setia menunggunya.

Mendengar suara pintu atap terbuka seketika menarik perhatian laki laki itu pada sosok yang kini berdiri di ambang pintu.

"Kau kembali untukku?" Tanyanya dengan bertopang dagu, memberikan senyuman lembutnya pada [name] yang berjalan mendekatinya.

Dia meletakkan satu kaleng di samping Yoshida, mengambil kembali kotak bekalnya yang sudah kosong.

"Aku kembali untuk kotak bekalku." Yoshida tahu [name] akan menjawab itu. [name] berdiri di samping Yoshida yang masih duduk di atas lantai, meneguk isi kaleng minumannya hingga habis. Tangannya meremukkan kaleng itu dengan sekali genggaman.

"Kenapa kau tak kembali ke kelasmu saja? Aku yakin perempuan lain menunggumu." Ucap [name] memecah keheningan.

"Pada akhirnya aku akan menolak mereka juga." Laki laki ini… Kadang berhasil membuatnya kesal tanpa alasan yang jelas.

Dia hanya tak suka dibuntuti oleh seseorang terutama di tempat ramai seperti sekolah. Dia benci rumor yang beredar dari telinga ke telinga.

"Berikan aku waktu untuk sendiri. 30 menit saja." Bagi Yoshida, berpisah dari [name] selama 10 menit saja rasanya sudah seperti ditinggal mati.

"Kau butuh interaksi sosial, [name]. Itulah kenapa aku ada di sini." [name] menatap sinis Yoshida di sampingnya yang masih setia memberikan senyuman licik itu.

Dia tak membutuhkan saran atau interaksi sosial dengan siapapun.

"Aku sudah nyaman sendiri, jadi jangan masuk ke zona nyamanku." Yoshida tak menjawab apa pun, dia malah berdiri dan mendekati [name] yang sibuk memperhatikan pemandangan di bawah mereka.

"Kalau begitu biarkan aku bergabung ke zona nyamanmu." Astaga, [name] harus menahan kepalan tangannya untuk tak melayang ke wajah rupawan itu.

Jika saja dia memiliki kontrak dengan iblis kematian, dia pasti dapat menyingkirkan Yoshida dari hidupnya.

"Tidak akan pernah."

"Meski aku mentraktirmu makan favoritmu?"

"Hanya untuk sebentar saja." Yoshida senang mendengarnya, dia tak masalah mengeluarkan uang sebanyak apa pun untuk berada di samping perempuan dingin ini.

Bahkan jika bisa dia akan melakukan apa pun untuk memilikinya.

"Setelah ini ingin pergi ke kantin?"

"Traktir aku."

***

Just You [Hirofumi Yoshida x Reader]Where stories live. Discover now