12 || Maunya Jaga Jarak, Tapi...

107 12 7
                                    

Pilihan yang tepat untuk mlipir ke hotel murah yang dekat dengan rumah sakit

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pilihan yang tepat untuk mlipir ke hotel murah yang dekat dengan rumah sakit. Walaupun semalam aku lelah dan langsung tertidur, mimpi yang kudapatkan malam ini membuatku cukup banyak berpikir. Terlebih lagi, ucapan-ucapan Psikolog Chandra kembali terngiang. Bagaimana dia bisa menyuarakan suara hatiku yang bahkan sering tidak kusadari, bagaimana dia bisa memahami kegelisahanku kepada suamiku, dan bagaimana tatapannya begitu menenangkan di saat aku memang membutuhkan itu. Aku sangat berharap bisa kembali hangat dengan suamiku. Namun, jika dengan melihatku saja Bang Jun malah menghindar, bagaimana bisa mendapatkan kehangatan itu lagi?

Pada akhirnya, aku memilih untuk kembali datang tanpa suamiku. Sudah cukup aku mendapatkan penolakan-penolakan darinya. Rasanya, usaha apa pun juga tidak akan ada guna pada Bang Jun. Sekarang, aku sedang menikmati udara di depan rumah sakit dengan menarik napas dalam dan mengembuskannya.

Aku melangkah menuju bagian administrasi untuk mendaftar konsultasi ke Psikolog Chandra. Seperti biasa, aku perlu menunggu pasien sebelumku menyelesaikan sesinya. Eh, tapi tumben, baru 10 menit duduk dan sedang asyik scrolling reels jogetan ambyar lagu Sang Dewi di medsos, namaku sudah dipanggil masuk ruangan.

"Kliennya udah dari tadi, ya, Mas? Kok kayaknya cepet banget padahal saya disuruh nunggu 30 menit lagi tadi sama perawat," tanyaku langsung saat masuk ruangan pada Mas Chandra.

Psikolog ber-snelli putih itu tersenyum. Astaga, aku harus mengalihkan pandanganku karena dia manis banget!

"Memang waktu yang dia butuhkan segitu. Cepat atau lama tergantung anggapan kita aja." Psikolog itu menengok ke arah pintu seolah menunggu seseorang masuk di belakangku. "Sendiri, Mbak Laras?"

"Iya. Bener yang saya bilang. Suami saya nggak mau ikut. Saya malah dimarahin gara-gara nganggep dia gila. Padahal, saya belum jelasin apa-apa, tapi dianya main nyelonong pergi aja. Saya pegang tangannya, malah ditepis kasar. Kayaknya suami saya dulu nggak gini-gini amat, deh." Aku tidak sadar kalau kalimat panjang itu keluar dengan lancar bak rapper yang ngomongnya kayak kereta api kilat.

"Mbak dicuekin, ya, padahal niatnya mau ngomong baik-baik."

"Iya, Mas! Ya ampun. Saya kurang apa coba? Nungguin dia, masakin dia, nggak maksain pendapat saya, nggak nuntut apa-apa selain saya cuma mau diperhatiin sama dia kayak dia ke kucingnya."

"Kayaknya, Mbak Laras sangat mendambakan perhatian dari orang terdekat, ya. Apalagi ketika Mbak Laras sudah mencurahkan perhatian juga buat orang tersebut."

"Ya ampun, kenapa, sih, suami saya nggak kayak Mas Chandra aja? Sama-sama ganteng, baik, tapi kok pengertiannya jauh beda banget."

Psikolog itu diam dan tersenyum lagi. "Biasanya, karakter seseorang terbentuk dari cara orang tuanya mengasuh. Dan sepertinya, Mbak Laras ini sangat diperhatikan oleh orang tua, ya, makanya jadi orang yang perhatian juga sama keluarga."

Oke. Aku tarik kata-kataku soal psikolog itu sangat memahami dan bisa jadi cenayang bagi orang lain. Pernyataan barusan sungguh berbalikan dari apa yang sebenarnya kurasakan dan ini perlu kuluruskan.

Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔Where stories live. Discover now