17. Horse

991 230 30
                                    

“Pangeran Janio dan Putra Mahkota punya Ibu yang berbeda. Pangeran Janio Putra dari Ratu kedua Gwyllion.” Bertha mulai bercerita atas desakan Lamia yang terus bertanya tentang Janio.

“Gwyllion punya dua Ratu?”

“Ratu Pertama meninggal dunia. Kemudian selir Raja naik takhta menggantikan posisi Ratu pertama.”

“Intinya Janio dan Xenon saudara tiri.” Lamia manggut-manggut sambil menyimpulkan.

“Astaga Lady. Aku mohon dengan sangat, jangan menyebut nama Keluarga Kerajaan tanpa gelar kehormatan. Terutama Putra Mahkota,” Bertha memelas.

Bertha merasa lelah harus menghadapi kebar-baran Lamia. Semalam saja dia tidak bisa tidur memikirkan amarah Putra Mahkota. Dia mengira semalam terakhir kalinya dia tinggal di istana sebelum di depak secara tidak terhormat. Ternyata sampai pagi ini dia masih diberi kesempatan untuk melayani Lamia. Jadi, dia harus berhati-hati ke depannya.

“Apa salahnya? Nama Tuhan aja boleh di sebut,” kilah Lamia. “Jadi manusia nggak usah gila hormat, deh.”

Bertha menghela napas dengan berat. Sepertinya susah menghentikan kelakuan Lamia. Dia hanya berharap tidak dihukum mati karena lalai melayani Lamia. Bertha sudah melakukan yang terbaik versi dirinya, selebihnya dia sudah tidak sanggup. Kalau Bertha nantinya di hukum mati karena tidak becus mengawasi Lamia, dia akan memohon kepada Raja untuk menghukum Lamia juga. Mereka harus menanggung hukuman bersama.

“Pantas aja beda, Ibunya ternyata beda,” Lamia manggut-manggut lagi sambil memikirkan kedua Pangeran yang jauh berbeda itu.

“Mungkin Janio mewarisi sifat Ibunya. Mereka sama-sama ramah dan penyayang,” kata Lamia yang menilai sekilas Ratu saat pertemuan semalam.

“Kalau Ibunya Xenon gimana?”

Bertha menghela napas dengan berat saat mendengar nama Xenon di sebut dengan gamblang. Sepertinya dia harus terbiasa mendengar nama itu disebut tanpa gelar kehormatan.

“Ratu tercantik di Gwyllion sepanjang sejarah. Dia lembut dan anggun. Penyayang dan mengayomi rakyat. Sampai orang-orang menjulukinya bidadari Amethyst.”

Dahi Lamia berkerut mendengar penuturan Bertha. Padahal dia membayangkan perempuan yang kejam dan kaku seperti Xenon.

“Tapi sayang umurnya tidak panjang. Ratu meninggal saat usia Putra Mahkota masih 10 tahun.”

“Pantas aja sedingin itu, dia kurang kasih sayang Ibunya,” Lamia mulai memahami situasi Xenon.

“Cuma ada dua kemungkinan yang membuat laki-laki berhati dingin. Yang pertama kurang kasih sayang orang tua. Yang kedua kurang belaian wanita. Mirisnya Xenon mengalami keduanya,” Lamia sampai berdecak mengingat kehidupan Xenon.

“Suruh Putra Mahkotamu untuk jatuh cinta supaya sedikit berubah. Kasihan kalau hidup sekaku itu selamanya,” kata Lamia.

Tapi Bertha menatapnya sambil senyum-senyum. “Itu tugas Lady,” kata Bertha.

“Tugas apa?”

Bertha senyum-senyum lagi, “membuat Putra Mahkota jatuh cinta.”

“Hah!? Aku?” Lamia menunjuk dirinya sendiri.

“Mohon maaf lahir batin. Aku nggak mau buang-buang waktu untuk mendapatkan cinta laki-laki psikopat. Ogah, aku bahkan nggak sanggup bayanginnya.” Lamia sampai bergidik ngeri.

*****

Mata Lamia berbinar saat melihat Xenon menunggang kuda di arena pacu Istana. Dia sampai tidak berkedip sama sekali dan mulutnya ternganga takjub. Ditambah lagi dengan para Pelayan wanita yang cekikikan kecentilan di pinggir lapangan pacuan kuda. Persis seperti wanita yang haus belaian. Berkali-kali mereka memuji kemampuan Xenon berkuda.

Infinity HeartWhere stories live. Discover now