Bab 25. Bertengkar Lagi

37 0 0
                                    

Satu bulan kemudian, di siang yang panas. Aku mengambil dompet dan ponselku dari atas meja, dan melangkah keluar kamar.

Segelas es kelapa muda kayaknya segar banget nih, pikirku.

Kulihat pintu kamar Adela tertutup. Apa dia masih tidur? Dia mau es kelapa muda nggak ya?

Kuketuk pintu kamarnya. Tidak ada jawaban. Kucoba membuka pintunya pelan-pelan. Adela memang tidak pernah mengunci pintunya, kecuali ketika ada Mas Yanto.

Kulihat dia tidur tertelungkup di atas kasur dengan wajah menghadap ke pintu.

Aku bermaksud menutup kembali pintu kamarnya ketika mataku menangkap sesuatu di wajahnya. Penasaran, kudekati dia pelan-pelan.

Ada jejak air mata di sana. Bahkan bulu matanya masih basah. Adela menangis? Kenapa?

Kupandangi wajahnya sejenak. Lalu perlahan keluar dari kamarnya dengan membawa rasa penasaranku.

Di warung es kelapa muda, aku bertemu dengan Lena dan Lesty.

“Jiaah ... nggak ngajak-ngajak,” tegurku.

“Eh, Win. Duduk sini!” kata Lena menepuk-nepuk bangku di sampingnya. Aku segera duduk di sana.

“Mang! Es kelapanya satu lagi,” pintaku pada si Mamang penjual es kelapa muda.

“Dari mana lu berdua?” tanyaku melihat pakaian dan tas mereka.

“Dari pasar. Tuh, si Lena katanya mau nyari ‘jeroan’,” jawab Lesty.

“Jeroan? Lu mau masak, Len?” tanyaku lagi pada Lena.

Mereka berdua serentak tertawa.

“Hahaha ... O’on deh, lu Win. Maksud si Lesty jeroan tuh ginian!” kata Lena sambil membuka sedikit tas plastik yang dibawanya.

“Ooh ....” Aku nyengir melihat beberapa celana dalam dan BH di dalam tas plastik itu.

Tidak lama es pesananku tiba.

Sambil menikmati es kelapa muda dan camilan, kami asyik bercanda dan ngobrol.

“Tadi malam lu nggak masuk kerja kan, Win?” tanya Lena.

“Nggak. Gue sakit perut. Biasa, tamu bulanan. Kenapa?” Aku balik bertanya.

“Wah, lu ketinggalan berita. Semalam Dela hampir berantem lagi sama musuh bebuyutannya.”

“Sama Kiki? Kenapa?” tanyaku terkejut.

“Awalnya sih kayak sindir-sindiran gitu. Terus nggak tahu gimana, Dela emosi dan langsung mau nyerang Kiki. Kiki juga gitu. Untung aja masing-masing ada yang pegangin. Kalo nggak, udah main jambak-jambakan kayak dulu, kali!” Lena menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku melongo.

“Kalo yang gue baca di grup sih, katanya gara-gara lagi bahas Cici yang gosipnya jadi Pelakor.” Jelas Lesty.

“Cici? Bukannya dia pendiam dan nggak pernah macam-macam, ya?” tanyaku.

“Iya. Kita aja nggak nyangka. Tahu nggak, ketahuannya itu gara-gara istri selingkuhannya itu datang ke Angel’s dan melabrak Cici yang kebetulan baru aja mau keluar sama si lelaki itu. Habis deh si Cici. Sampai harus dipisahin sama Sekuriti,” sambung Lena.

“Waaah ....” Aku tidak bisa berkata apa-apa.

“Terus, pas kita pada mau pulang, kita masih rame tuh ngomongin soal Cici. Eh, tahu-tahu Kiki nyeletuk, ‘Namanya juga Pelakor. PErebut LAKi ORang. Sealim-alimnya kerja di sini, lama-lama bakal tergoda juga jadi Pelakor. Secara yang kita hadapi tiap malam itu rayuan lelaki-lelaki berkantong tebal. Apalagi kalo cowoknya nggak jelek-jelek banget. Yang tadinya mengecam Pelakor, akhirnya jadi Pelakor juga. Makanya, nggak usah munafik kalo kerja di sini. Gue sih mending jadi pelacur dari pada pelakor. Iya nggak, Del?’ kata Kiki ngulangin kata-kata Adela yang dulu dia ucapin buat nyindir Kiki. Lu masih inget kan, Win? Adela langsung melihat ke Kiki dengan pandangan tidak suka. ‘Maksud lu apa?’ kata Adela marah. Dia udah siap mau nyerang Kiki. Si Kiki digituin, ya makin diladeni. Mereka perang mulut. Untung anak-anak yang lain sigap langsung pegangin Dela sama Kiki. Langsung dipisahin sebelum mereka bergelut,” cerita Lena panjang lebar.

“Rame banget, loh. Yang satu ngatain Pelakor, yang satu ngatain Lo*te. Dah lah!” Lesty menggelengkan kepalanya.

“Padahal dua-duanya kan emang Pelakor,” kata Lena terkikik menutup mulutnya. Aku dan Lesty hanya nyengir.

Aku langsung terbayang wajah Adela dan jejak air matanya tadi.

Apakah karena itu dia menangis? Ah, tapi kayaknya nggak mungkin. Adela mentalnya kuat. Nggak mungkin cuma gara-gara itu dia sampai menangis.

Sehabis minum es kelapa muda, kami balik ke kosan. Tidak lupa kubelikan sebungkus untuk Adela.

“Del!” panggilku ketika melihat Adela yang sudah rupanya sudah bangun hendak masuk ke kamarnya.

Adela menoleh. “Hei ..., dari mana lu Say?”

“Abis minum es kelapa di depan jalan situ. Nih buat lu,” jawabku sambil menyodorkan kantong plastik berisi es kelapa muda.

“Wuih, makasih ya, Say.” Matanya yang agak sembab berbinar seketika. “Yuk, masuk.”

Aku menghempaskan diri di atas kasur Adela, sementara dia mengambil gelas untuk memindahkan es tersebut.

“Aah ... Segar banget deh,” katanya setelah meminum es kelapa muda itu.

“Tadi gue mau ngajakin lu, tapi pas gue ke sini, lu-nya lagi tidur. Ya udah, gue beliin aja buat lu,” ujarku.

“Iya, gue emang lagi capek banget, Say. Makanya dari pulang kerja gue bablas tidur sampai siang. Ini aja baru bangun.”

“Gimana Angel’s semalam? Rame?” pancingku.

“Biasa aja,' jawab Adela acuh. Dia terlihat fokus menyendok serpihan daging kelapa mudanya.

“Del, bulan depan gue mau pulang kampung,” kataku.

“Pulang kampung? Bukannya jatah cuti lu udah abis? Emang ada apa bulan depan?” tanya Adela.

“Ehm ... Kalau nggak ada halangan nih, gue mau ... lamaran,” kataku denga pipi merona.

Adela terkejut. “Yang bener lu, Say? Waaah ... selamat ya, Say!” Adela segera meletakkan gelasnya dan memelukku erat.

“Iya, Makasih, Del.”

Adela melepaskan pelukannya.

“Tapi ... jangan bilang-bilang dulu ke yang lain, gue takut nggak jadi. Cukup lu aja yang tahu, ya ....”

“Iya ..., Duh, lu beruntung banget Say. Gue bilang juga apa, Mas Bimo orang baik. Keluarganya juga pasti baik. Benar, kan? Mereka bisa nerima lu, kan?”

Aku mengangguk. “Ibu dan bapaknya baik dan ramah. Mereka kan sebelumnya udah dikasih tahu siapa gue, apa kerjaan gue ..., Nggak ada yang ditutup-tutupi sama Mas Bimo. Itu emang mau gue, supaya gue bisa tahu orang tua Mas Bimo bisa nerima gue atau nggak. Syukurlah, buat mereka nggak ada masalah.”

Adela mengangguk-angguk.

“Terus, keluarga lu udah tahu?” tanyanya.

“Udah. Malah Mas Bimo udah kenalan sama Bapak Ibu gue melalui VC. Mereka kayaknya sreg sama Mas Bimo.”

“Gue ikut senang, Say. Semoga lancar sampai ke pernikahan ya ..., Ah, gue benar-benar iri ....”

Kuperhatikan wajahnya yang mendadak sendu.

“Sabar ya Del. Suatu saat, lu bakal nemuin kebahagiaan lu yang sebenarnya,” ucapku menghiburnya. Adela hanya mendesah.

“Del ... Kayaknya lu abis nangis, ya ...?”

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 25, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sahabatku si PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang