Bab 18. Ceritakan Segalanya

16 0 0
                                    

Air mataku tiba-tiba saja merebak. “Jangan main-main, Mas. Mas nggak usah meledek Windy kayak gini. Kita sama-sama tahu, dunia kita berbeda. Windy sadar betul siapa diri Windy. Mana mungkin Mas ....”

“Win, berapa kali Mas bilang. Jangan membuat batasan sendiri. Apa yang membuat kamu berbeda? Status kamu? Pekerjaan kamu? Kamu hanya Pemandu lagu, Win. Sama seperti pramuniaga toko, pelayan restoran. Kamu memang menemani tamu yang sebagian besar laki-laki, berseragam minim, tapi hanya itu. Kamu nggak menemani mereka–maaf–sampai ke tempat tidur, kan?” potong Mas Bimo.

Aku terisak. Mas Bimo menggenggam tanganku. “Kamu kan tahu, Mas nggak pernah memandang semua itu. Mas cuma melihat kamu sebagai Windy. Seorang wanita yang manis wajah dan kepribadiannya. Mas tahu kamu janda dengan satu anak. Mas tahu pekerjaan kamu di dunia malam. Bahkan kalau kamu nggak bekerja di situ, kita mungkin nggak akan pernah bertemu. Iya kan? Lalu ... Apa Mas pernah mempermasalahkannya?” Mas Bimo menggeleng.

“Tetapi Mas langsung menghilang setelah kejadian itu. Itu karena Mas malu, kan, ketahuan mantan istri Mas bahwa Mas jalan dengan perempuan macam Windy?”kataku keukeuh.

“Kata siapa? Kan tadi Mas udah jelasin, Mas memang malu, tapi malu dan merasa bersalah karena sikap Lisa. Mas takut kamu nggak mau ketemu Mas lagi. Itu aja,” tukas Mas Bimo.

“Mas sudah jatuh cinta sejak pertama kali melihat kamu. Kamu terlihat berbeda di antara LC yang lain. Kamu terlihat sulit digapai di balik kemurahan senyum dan kehangatan sikapmu. Mas mencintai kamu. Apa adanya.”

Aku menggeleng. “Jangan, Mas. Mas mungkin bisa menerima Windy, tapi bagaimana dengan yang lain? Keluarga Mas, tetangga, lingkungan, terlebih lagi ... Dion. Kalau dia tahu, apakah kelak dia bisa menerima? Lalu mantan istri Mas?” tanyaku tetap khawatir.

“Sekarang Mas bisa menerima Windy, tapi nanti, kalau semua orang di sekitar Mas yang nggak bisa menerima Windy terus menerus mengatakan hal-hal buruk tentang Windy, lama-lama Mas akan terpengaruh. Lalu Mas akan merasa menyesal dan malu punya istri mantan pekerja malam,” lanjutku.

Mas Bimo tersenyum dan menggeleng. “Soal itu, kamu nggak usah khawatir. Mas sudah berpikir dan mempertimbangkannya dalam-dalam. Mas juga sudah bicara dengan orang tua Mas. Tadinya Mas mau kenalin kamu ke Dion dulu, baru bicara ke orang tua Mas. Dion itu instingnya tajam. Dia bisa menilai seseorang loh, dan Mas Yakin, dia akan menyukai kamu.”

“Tapi gara-gara Lisa kemarin, terpaksa Mas cerita ke orang tua lebih awal. Jadi ketika Lisa mengadu ke orang tua Mas, mereka sudah tahu lebih dulu. Bahkan mereka balik menyerang Lisa dengan menyindir kelakuannya yang memang sudah lama membuat geram kedua orang tua Mas. Jadi kamu nggak usah khawatir soal mereka, termasuk Lisa. Dia nggak akan bisa mengganggu kita lagi.”

Aku menatap Mas Bimo.

“Bagi orang tua Mas, tidak masalah siapa pun kamu. Yang penting, kamu bisa jadi istri dan ibu yang baik buat Mas dan Dion. Bisa jadi menantu yang baik buat mereka. Kata Ibu Mas, penampilan dan latar belakang yang baik, belum tentu menjamin kelakuan seseorang. Contohnya Lisa. Perempuan yang tampak terhormat dan berpendidikan, ternyata kelakuannya seperti perempuan tak bermoral,” lanjut Mas Bimo.

Aku masih terdiam. Ini semua terlalu mendadak dan tak terduga bagiku. Aku memang menyukai Mas Bimo. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, dan merindukan dia kalau dia tidak ada. Tetapi apakah aku mencintainya?

“Tetapi Mas kan hanya tahu itu tentang Windy. Mas belum tahu bagaimana latar belakang kehidupan Windy yang sebenarnya. Mana mungkin Mas bisa bilang mencintai Windy?” kataku pelan.

“Mas udah bilang, Mas mencintaimu apa adanya. Itu artinya, Mas siap menerima diri kamu dan masa lalu kamu. Bagaimanapun buruknya masa lalu kamu. Mas juga nggak peduli bagaimana kehidupan keluarga kamu. Mas hanya melihat kepribadian kamu. Sifat dan sikap kamu selama hampir setahun ini ....”

“Windy nggak ingin menikah, Mas!” potongku cepat.

Mas Bimo tertegun. Dia menatapku beberapa saat.

“Boleh Mas tahu alasannya?” tanyanya hati-hati.

Aku menarik napas. “Windy ... trauma dengan pernikahan, Mas ....” bisikku. Lalu perlahan, aku menceritakan kehidupan pahit pernikahanku. Perlakuan kasar Mas Amran, hingga 'penyakit' Mas Amran di ranjang. Semuanya. Tidak ada yang kututupi. Aku tidak peduli jika sehabis ini Mas Bimo mundur.

Mas Bimo mengucap istigfar. Lalu dia berpindah duduk ke sampingku dan memelukku dengan lembut. Aku menangis, mengingat semua yang selama ini aku kubur dalam-dalam.

Beberapa saat dia hanya diam memelukku dan membiarkanku mengeluarkan semua emosiku.

“Windy nggak berani menikah lagi, Mas. Meskipun sekarang hubungan Windy dengan Mas Amran sudah baik, tetapi trauma itu belum hilang. Windy takut suami Windy kelak seperti Mas Amran lagi,” isakku.

Mas Bimo menarik napas sambil menepuk-nepuk punggungku.

“Baiklah, Mas mengerti, Win. Kamu nggak harus menjawabnya sekarang. Tetapi izinkan Mas membantumu mengatasi ketakutan itu. Kita lalui bersama, ya? Kalau perlu, kita mengunjungi teman Mas yang seorang Psikolog untuk konsultasi. Pikirkanlah lebih dulu,” kata Mas Bimo.

Aku mengangguk, menarik tubuhku dari pelukannya, dan menghapus air mataku. Ada rasa plong di dada setelah akhirnya bisa mencurahkan semua kepedihan yang selama ini hanya tersimpan rapat di sudut hati.

“Sekarang Mas mohon, terimalah hadiah ini. Ini bukan pengikat. Hanya sebuah pemberian,” katanya mengangsurkan kotak kecil tadi.

Sejenak aku menimbang-nimbang. “Baiklah, Mas.”

Mas Bimo tersenyum senang. “Mas pakaikan, ya?”

Aku mengangguk. Mas Bimo lalu bangkit dan berjalan ke belakangku. Kemudian dengan hati-hati, dia memakaikan kalung itu di leherku.

“Cantik. Cocok sekali denganmu,” pujinya kemudian.

Aku tersipu. “Terima kasih, Mas.”

“Ah, tapi kamu bikin Mas khawatir,” katanya tiba-tiba merengut.

“Khawatir kenapa, Mas?” tanyaku bingung.

“Kalau kamu terlihat cantik begini, bagaimana Mas bisa tenang di rumah membayangkan kamu kerja dikelilingi banyak tamu lelaki? Ah ....” Mas Bimo mendesah dengan gaya dramatis sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Aku jadi tertawa. “Mas Bimo bisa aja.” Lelaki itu ikut tertawa. Kami kembali ke mode becanda.

Salah satu kelebihan Mas Bimo adalah, pandai membawa suasana tidak enak menjadi menyenangkan.

“Tetapi kamu memang cantik. Kamu harus tahu, Mas ini pencemburu loh,” katanya serius. “Jangan terlalu ramah dengan tamu yang lain, ya? Jaga jarak, sampai traumamu sembuh dan Mas bisa halalin kamu. Habis itu Mas bawa kamu pergi dari sana.”

Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. Ada yang sejuk di dalam sini, tapi bukan AC. Halah, Windy ....

***

Sahabatku si PelakorWhere stories live. Discover now