BAB 7

28.3K 3.3K 109
                                    

SEAN

Kalau saja Mami tahu cewek pilihannya se-bar-bar ini, mungkin beliau bakal malu sendiri. Gimana enggak, nggak cuma ngerepotin gue, baru kenal dia udah ngerepotin kenalan gue.

Gue melirik Kiara yang sedari tadi bergerak gelisah dan melantur sepanjang perjalanan. Tiba-tiba, ia menarik-narik jaket gue.

"Berhenti bentar... gue mau muntah."

"Shit!" Gue segera menepikan mobil. Beruntung kami sudah nggak berada di jalan protokol. Bisa-bisa gue kena tilang karena berhenti sembarangan.

Gue segera membantu Kiara melepas sabuk pengamannya. Begitu pintu terbuka, Kiara langsung menunduk dan menumpahkan isi perutnya. Tangan gue terulur untuk memijat lehernya.

"Anak kecil besok nongkrong di mall aja deh. Jangan di club lagi, nyusahin..." omel gue.

"Hwwkkk..."

Gue menjauhkan leher supaya nggak melihat muntahannya.

****

Seperti yang sempat gue singgung sebelumnya, gue akan segera bertemu kembali dengan Lunar dalam meeting project kami.

Sebagai project manager, Lunar menampilkan detail progress dan beberapa perubahan plan ke depan.

"I appreciate that you concern about the issue we've raised..." gue menanggapi salah satu poin. "But I want to discuss more about... would you please go back to the previous slide?"

"This one?" Lunar memastikan.

"Bukan. Yang kurva-nya. Yeah, this one."

Gue memaparkan beberapa pertanyaan. Lunar menjawab dengan runtut. Beberapa poin ia lempar ke tim ahlinya untuk memaparkan lebih jelas.

Lagi-lagi gue mendapati sebuah fakta. Bahwa Lunar yang dulunya suka bolos kuliah, kini menjadi sosok kompeten yang memiliki kemampuan organisir, analisa, dan leadership yang baik.

Pandangan gue mengedar ke peserta meeting lain. Kali ini Ibra nggak ikut. Well, ini memang rapat lanjutan yang bisa ia percayakan kepada project manager. Engagement manager atau associate partner nggak perlu terlibat dalam hal ini.

Setelah dua jam, meeting selesai tepat waktu. Gue bermaksud menghampiri Lunar dan timnya ketika tiba-tiba Lunar menjatuhkan ponselnya.

Suara keras yang ditimbulkannya membuat beberapa orang menoleh ke arahnya, termasuk gue.

Raut Lunar terlihat cemas, wajahnya pucat.

"Lunar, ada apa?" tanya gue. Namun, nggak ada jawaban. Matanya justru berkaca-kaca. "Hey, something wrong?" tanya gue lagi, dengan suara lebih lembut seraya meraih tangannya.

"Kavin... Kavin diserempet mobil di sekolah," katanya terbata-bata. "Aku harus ke rumah sakit," tukasnya sembari meraih tas dan bangkit dari tempat duduk.

"Lunar! Lunar tunggu!"

Gue mengejar Lunar yang berjalan tergesa menuju lift.

"Ada apa Sean? Aku buru-buru..."

"Aku tau. Aku temenin, ok?"

Lunar membuka mulunya, tapi nggak mengeluarkan suara apapun. Entah dia berusaha mencerna kalimat gue di tengah pikirannya yang kalut, atau kekalutan membuatnya sulit bicara maupun memutuskan sesuatu.

Pada akhirnya, gue lah yang mengambil langkah. Gue meraih tangannya.

"Sini. Pake lift ini aja," ucap gue lalu membimbingnya masuk ke dalam lift khusus manajemen atas supaya bebas dari antrian.

Di dalam lift, Lunar berdiri dalam diam. Gue menelpon supir gue supaya stand by di lobby.

Setelah itu, pandangan gue beralih ke Lunar lagi. Tangannya masih meremas iPad yang bahkan belum ia masukkan ke dalam tasnya. Gue meraih iPad di tangannya, lalu membantunya untuk memasukkan benda itu ke dalam tasnya.

"Driver aku udah ngeluarin mobil dari tempat parkir. Begitu sampai lobby, kita langsung berangkat ke rumah sakit ya," ucap gue, disusul denting lift dan pintu terbuka.

Lunar mengangguk pelan. Gue membimbing Lunar keluar lalu memasuki mobil.

"Kemana, Pak?"

"RS Atmajaya," seru Lunar.

"Oh Pluit ya?"

"Iya. Cepet ya, Pak..." Lunar berucap dengan suara bergetar. Mata Lunar berkaca-kaca.

Gue segera mengambil tisu yang terletak di console box, lalu memberikan kepadanya.

"Thanks," ucap Lunar seraya menerima tisu itu. "Maaf aku panik. Aku..."

"Lunar, you don't have to say sorry for being panic."

Kalimat itu membuat Lunar menoleh ke arah gue. Gue tersenyum. "Let's pray..."

Lunar mengangguk seraya menyeka air matanya. Tangannya mengepal erat. Ia terlihat begitu terguncang, jauh dari sosok tenang yang diperlihatkannya di depan klien saat bekerja.

Gue hendak menenangkannya dengan menyentuh tangannya, tapi niat itu gue urungkan. Maka yang gue lakukan hanya menepuk pelan bahunya.

Dalam perjalanan itu, entah kenapa jantung gue rasanya ikut berpacu dengan waktu.

****

Kami tiba di rumah sakit setelah kurang lebih tiga puluh menit menempuh perjalanan. Lunar segera berlari ke ruangan yang sebelumnya telah diberitahukan oleh mamanya.

"Gimana keadaannya, Ma?" tanya Lunar khawatir. Napasnya tersengal. Jelas saja, ia habis berlarian. Larinya pun lebih cepat dari gue, padahal dia mengenakan heels.

"Lagi ditangani, katanya ada pendarahan."

Lunar memijat pelipisnya. "Kok bisa sih? 'Kan ada petugas yang ngatur lalu lintas di depan sekolahnya. Aku juga sering ngingetin Kavin supaya nggak main-main deket jalan raya..." Lunar meluapkan semuanya.

Nggak lama kemudian, tim medis yang menangani Kavin menghampiri kami.

"Pasien butuh darah B. Stoknya sedang tipis. Ada di antara keluarga pasien yang bergolongan darah B?"

Lunar dan mamanya saling tatap. Mereka sama-sama menggeleng.

"Darah saya B," gue bersuara, yang langsung mendapat tatapan dari ketiganya.

-------------------------to be continued

THE FAULT IN OUR PASTWhere stories live. Discover now