Tragedi

958 45 0
                                    

"Mau pergi juga?" tanya Dara saat melihat suaminya sedang bersiap-siap.

Cuaca di luar sedang hujan deras dengan angin yang berembus cukup kencang.

Tangan mungilnya mengusap perut yang mulai membesar. Ini bulan keenam dan mualnya sudah berkurang. Justru sekarang, Dara sangat suka makan sehingga berat badannya naik hampir dua kali lipat dari semula.

"Ada janji sama yang mau beli rumah. Lumayan kan kalau deal 1 unit," jawab Dewa sambil mengancingkan kemeja dan memasang sabuk. Lelaki itu menyisir rambutnya dan menyemprotkan sedikit parfum.

"Apa gak bisa ditunda perginya, Mas? Besok gitu," bujuk Dara. Entah mengapa perasaannya tidak enak kalau Dewa harus memaksakan pergi sekarang juga.

"Dia mau bayar cash. Nanti selisihnya bisa buat biaya lahiran kamu," jawab Dewa sambil menangkup pipi Dara dan menatapnya dalam.

Hari libur seperti ini harusnya dia bersantai bersama keluarga. Namun, kesempatan tidak datang dua kali. Jadi Dewa akan mengambilnya.

Dewa memiliki sebuah usaha properti yang dibangun bersama beberapa rekan kerja. Sebagai seorang arsitek, dia juga ikut mendesign model rumah yang mereka pasarkan. Kebetulan kali ini pembeli adalah salah seorang kenalannya. Jadi dia yang akan datang menemui.

"Tapi perasaan aku gak enak. Mending nanti aja perginya. Mas bisa bilang ketemuannya ditunda nanti atau besok pagi," pinta Dara.

Dia sendiri masih mengajar seperti biasa. Hanya saja tidak mengantar jemput Ciara. Jika kondisi drop, Dara akan meminta izin tidak masuk. Untunglah kepala sekolah mengerti, sekalipun ada kompensasinya yaitu pemotongan uang makan.

"Kamu tenang, ya. Mas cuma sebentar. Sebelum hari gelap udah pulang," janjinya.

Ini hari sabtu pagi. Jika semua selesai, minggu besok dia bisa menemani anak dan istri di rumah.

"Yaudah hati-hati. Jangan ngebut. Jalanan pasti licin di daerah tertentu," pesan Dara kepada sang suami.

"Iya, Sayang." Bibir Dewa menyentuh dahi istrinya, lalu berpamitan pergi.

Lelaki itu melanjukan mobil dengan pelan. Tadi Dara memintanya naik taksi namun dia menolak. Dewa sudah biasa membawa kendaraan kemana saja sendirian. Bahkan ke luar kota dengan jarak tempuh beberapa jam.

Hari ini, mereka sepakat bertemu di rumah lama pembeli yang berada di pinggir kota. Daerah sekitaran itu memang agak sepi dan kemungkinan jalanan licin.

Namun, Dewa yang sudah mengantongi SIM A sejak berumur 17 tahun, sudah hafal daerah dan setiap ruas jalan, karena dia sering touring bersama teman-temannnya dulu sebelum menikah.

Dalam derasnya hujan, mobil itu membelah jalanan. Lelaki itu mengemudikannya dengan hati-hati karena mempunyai tanggung jawab kepada keluarga, sehingga tidak boleh semaunya seperti dulu.

Mobil berhenti di lampu merah, kemudian berbelok ke kanan dimana daerah yang dituju ada di daerah itu. Dia masih berkonsentrasi menyetir saat tiba-tiba entah dari mana muncul sebuah gerobak yang dibawa oleh seorang bapak muncul di depan.

Dewa berusaha mengurangi laju kendaraan dan membunyikan klakson agar si bapak berhenti dan tak jadi menyebrang. Melihat itu si bapak malah nekat menyebrang. Sehingga dia memutar setir dan membanting mobil ke samping, ingin mengelak dan menghindar agar jangan sampai menabrak si pemilik gerobak, namun naas.

Brak!

Tubuhnya terhantam ke depan dengan kepala mengucurkan darah. Mobil itu menabrak sebuah pohon besar dan remuk di bagian depan. Dalam hitungan detik lelaki itu kehilangan kesadaran.

Sementara si pemilik gerobak malah berhenti di jalan dan membuat macet.

Di tengah hujan deras, keributan terdengar di jalan itu. Orang-orang berusaha menolong dan memanggil pihak kepolisian untuk membantu evakuasi. 

***

"Kak. Jaga Dewa untukku."

Dara terbangun dengan perasaan tak menentu. Tadi dia tertidur sejenak karena cuaca yang dingin.

Prang!

Vas bunga terjatuh karena tak sengaja menyenggol nakas ketika berdiri hendak ke kamar mandi.

Ketika dia mencoba mengambil serpihannya, bagian tajam dari kaca bening itu menggores jari sehingga mengucurkan darah.

Wanita itu mengaduh kesakitan akibat goresannya. Dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan darah dan memasang plaster. Mungkin, nanti minta tolong bibik saja yang membereskan sisa pecahan.

Setelah selesai membalut jari, Dara mengambil ponsel dan mencoba menelepon suaminya. Sudah dua jam dan Dewa tak memberi kabar. Biasanya lelaki itu selalu mengirim pesan jika tiba di tempat tujuan, karena dia juga melakukan hal yang sama.

'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.'

Berulang kali jarinya men-dial tetapi belum juga tersambung. Hati Dara resah bukan main. Pikirnya, mungkin saja Dewa langsung bertemu dengan pembeli dan lupa memberikan kabar.

Akhirnya dia memilih untuk keluar kamar. Berbincang dengan Bibik mungkin bisa mengurangi rasa khawatir. Paling tidak, ada teman mengobrol apa saja untuk mengalihkan keresahan.

"Kenapa, Nyonya?" tanya Bibik ketika dia masuk ke dapur.

"Masak apa, Bik?"

"Mau bakar ikan sama bikin tumis kangkung. Kesukaan Pak Dewa."

"Bakar sebagian aja dulu, Bik. Dewa lagi pergi. Nanti kalau udah datang,  baru dibikinkan," pesan Dara.

Dia duduk di kursi makan sambil melihat bibik yang sibuk membersihkan ikan dan sayur.

"Memangnya Pak Dewa kemana, ya?" tanya Bibik.

"Katanya mau ketemu sama pembeli rumah, Bik," jelas Dara.

"Wah, hujan deres gini malah pergi.  Bahaya," lanjut Bibik.

Mendengar ucapan itu, hati Dara kembali resah.

"Itulah, Bik. Tadi aku juga udah larang tapi dia ngotot," jelasnya.

"Doakan saja yang terbaik, Nyonya. Namanya rezeki. Semoga lancar saja." Kata-kata si Bibik cukup menenangkan, sehingga Dara sedikit merasa lega.

"Aamiin, semoga saja, Bik. Tapi aku resah dari tadi."

"Memang itu tempatnya dimana, Nyonya?"

"Ujung kota," jawab Dara.

"Waduh. Setahu Bibik disana rawan kecelakaan. Jalanan licin apalagi banyak pohon tua. Kalau angin kencang bisa tumbang."

Ada nada khawatir juga dalam ucapan wanita tua itu. Dia sudah lama bekerja untuk Dewa dan lelaki itu cukup baik memperlakukannya.

"Bibik malah bikin aku takut."

"Itu bibik denger dari orang-orang. Belum tentu benar juga."

Melihat Dara yang semakin gelisah, dia mengalihkan pembicaraan dengan meminta bantuan mencuci cabai dan bawang karena akan membuat sambal sebagai teman ikan bakar. Dara menyanggupi dan melakukannya, sehingga sejenak lupa dengan apa yang dicemaskannya.

Asyik membantu bibik, tiba-tiba Ciara datang membawakan ponsel yang berdering sejak tadi.

"Kenapa, Cia?"

"Ini ada telepon buat Mama."

Dara mengambilnya dan menjawab panggilan. Wajahnya seketika pucat saat mendengarkan penjelasan dari seseorang di seberang sana.

"Ya Allah," ucapnya sambil mengucurkan air mata.

"Kanapa, Nyonya?" tanya Bibik penasaran. Dia mematikan kompor menyimak apa yang diucapkan oleh Dara.

Wanita itu mengusap air mata setelah menutup telepon kemudian berkata dengan pelan kepada putrinya.

"Papa kecelakaan."

Setelah itu tubuhnya luruh dan ponsel terjatuh begitu saja. Bibik dengan cepat menahan agar Dara tidak terjatuh ke lantai. Sementara itu, Ciara menangis dan memeluk mamanya dengan erat.

Pengantin PenggantiWhere stories live. Discover now