Part 5 (Last)

128 18 13
                                    

Atau yang ia pikir, ia mendengar suara pintu depan terbuka. Satu hal yang aneh lagi sejak ia sampai disini: ia mudah terbangun. Suara itu benar-benar lirih. A melirik ke sampingnya dan C sudah tidak ada disana, jadi ia menyimpulkan mungkin itu adalah C.

Atau bisa saja B. Atau bahkan D.

Ia terdiam, tapi tidak bisa tenang. Jadi ia bangkit dan melangkah perlahan ke pintu kamar. Ia sempat menyalakan ponselnya dan menyadari ternyata sudah tengah malam. Ia tertidur cukup lama.

Ia membuka pintu ke ruang tengah dan melihat menembus kegelapan. Hujan masih turun walau kecil, tapi pintu depan memang terbuka.

Lampu dari lorong merembes masuk lewat celahnya. Ia memeriksa kamar sebelah. Kosong. Kamar mandi pun kosong. Ia menghela nafas sebelum berjalan keluar. Ia mencoba menelepon yang lain, tapi bahkan sinyal pun menghilang. Tidak berguna.

Ia akhirnya menapakkan kaki ke lorong. Dan tidak ada siapapun. Tentu saja.

"C?" A memanggil. "B? Kalian dimana?"

Ia berjalan di sepanjang lorong pelan-pelan. Dadanya berdegup kencang dan ia bahkan tidak bisa melihat dengan jelas yang di depannya.

"Oke ini sudah cukup. Aku memang takut sekarang, kalian boleh keluar."

Lalu ada bayangan hitam melewati lorong. Tepat di depannya. A terkejut dan berhenti. Bulu di tengkuknya semua berdiri dan ia berusaha keras untuk menelan ludah. Ia kembali berjalan, tapi tiba-tiba ia merasakan sesuatu dari sisinya. Sesuatu di balik pipa-pipa yang terpasang di dinding apartemen itu.

"D? Apa kau disana?" suaranya gemetaran.

Ia mencoba untuk tetap melihat ke depan. Namun ketika sampai di belokan, ia mendengar suara kecil dari speaker di dinding. Hi hi hu he he. Kini A sudah tidak tahan lagi. Ia berpikir akan segera masuk lift dan turun dan pergi dari sini secepatnya.

Awalnya A ingin mencari teman-temannya yang entah kemana mereka pergi, tapi ia benar-benar takut. Ia yakin tidak sedang berhalusinasi dan semua suara dan bayangan itu adalah dari apartemennya. Ia berjalan lebih cepat ke arah lift. Dan ia melihat seorang wanita tua di depan lift. Kepalanya miring dan melihat tepat ke arah A dengan seperti senyuman ganjil terpasang di wajahnya. Rambutnya mencuat kesana kemari dan pakaiannya robek. Tas tangannya berisi sesuatu yang basah dan mengilap.

A berteriak dan menutup matanya dengan kedua tangan. Kini keringat dingin turun terus dari pelipis ke lehernya. Ia mengintip dari jarinya dan tidak ada siapa-siapa di depan lift.

A menghela nafas lega dan berlari untuk memencet tombol lift. A masuk dan pintu lift tertutup dengan keras.

Semua baik-baik saja. Semua baik-baik saja.

Ia terus menanamkan itu di benaknya. Berharap semuanya memang baik-baik saja dan itu semua hanya halusinasinya. Tapi kemudian ia melihat penunjuk lantai di atas menunjukkan nomor 4, ia membeku.

Tidak ada nomor 4.

Tidak ada bahkan di barisan tombol itu. Dari tiga, ke tiga koma lima, ke lima. Ia memencet lantai dasar dan semua lantainya, tapi lift itu tetap menuju ke sana. Tidak berhenti. Ia mencoba membukanya juga tidak bisa. Lift itu meluncur, dan ketika akhirnya sampai di lantai 4 (yang entah memang ada atau tidak), pintunya terbuka.

Seakan perlahan, lorong yang ditatapnya kosong dan gelap. Satu-satunya perbedaan adalah sebuah lampu berwarna merah di ujung lorong itu. Tidak ada siapapun disana. Tentu saja. A mencoba meraih tombol tutupnya.

"Halo?"

A membelalak. "B?" Itu pasti B. Ia sangat yakin. "B? Kau dimana?"

"A? Tolong aku."

Suaranya seakan dekat darinya di lantai itu. A ragu untuk melangkah keluar. Ia masih menatap penunjuk lantai itu. 4. Dan ia berharap liftnya yang rusak. Lalu ia mendengar suara panggilan B lagi tidak jauh dari sana, dan akhirnya ia keluar lift, karena ia tahu satu-satunya jalan hanya itu.

A mengikuti arah suara B, mencoba untuk tidak teralih perhatian dengan semua pintu apartemen yang terbuka lebar. Ia berjalan di lorong itu dengan semua pintu apartemen terbuka lebar dan seakan sesuatu, semua itu, mengisinya. Ia berfokus pada suara itu...

...yang seakan berubah sementara ia mendekat.

"Tolong aku." Suara keras dan jelas B berubah menjadi suara parau. Lebih seperti rintihan.

Ia berhenti di depan pintu tangga darurat. Lampu merah di atas kepalanya. Dadanya berdegup kencang seakan mau meledak. A bisa merasakan sesuatu berdiri tepat di belakangnya. Ada dua bayangan. Dan suara panggilan B terdengar tepat di balik pintu.

"Tolong... apa kau dengar aku..?"

Lalu sesuatu meraih pergelangan kakinya. A berteriak dan membuka kenop pintunya. Dan hal pertama yang ia rasakan adalah angin berhembus dan air yang jatuh ke wajahnya. A membuka mata dan ia menyadari tempat lapang itu. Atap? A mengernyitkan matanya ke tepi atap dan melihat dua orang. C dan D. Mereka berdiri tepat di tepinya, selangkah dari ruang bebas.

"Hei, apa yang kalian lakukan disana?" A memanggil melawan hujan besar dan mereka berbalik. "Hei-" Mata mereka merah berdarah dan bibir mereka terjahit. Lalu mereka mengangkat kaki dan terjun ke bawah gedung.

A berusaha berlari untuk meraih mereka, tapi sudah terlambat. Ia mengintip ke bawah, ke dasar gedung walau hujan begitu lebat semua itu buram, ada dua bentuk tubuh tergeletak.

"Tidak mungkin."

"...kau tidak dengar..?"

A menoleh dan ia melihat B. Kelihatan seperti B tapi lain. Rambutnya basah kuyup dan matanya hitam penuh pupil. Bibirnya menyinggungkan senyum dan ia bisa melihat darah dari sana. Tidak. Darah dimana-mana di sekujur tubuhnya. B menyeret kameranya sambil menghampiri A terseok-seok.

"Apa... apa maumu?"

Tidak dijawab. "Apa yang kau inginkan?" Ia berseru.

A mencoba pergi dari sana, tapi seakan ada yang menahannya untuk diam. B terus menghampirinya, dan ketika mereka hanya kurang dari satu meter jauhnya, sebuah tarikan keras terasa di rambutnya seperti seratus tangan menariknya. A melihat dirinya jatuh dari tepi atap seraya menatap kata-kata bisu dari mulut B (atau yang seharusnya B), sudah kubilang, sebelum gravitasi menangkapnya dan ia benar-benar jatuh, lalu hitam.

Suara ringtone ponselnya. Hey, kau dimana? Cepat kesini.

Tersadar.

Ia yakin ini semua memang hanya halusinasinya, atau ia mengalami mimpi paling vivid yang pernah ia rasakan. Ia berdiri di depan jendela kamarnya, menatap langit cerah tanpa awan gelap. Tubuhnya masih gemetaran dan keringatan, tapi ia memeriksa pakaiannya, kering. 09.17.

Yap. Entah dia baru saja berhalusinasi atau entah apa itu, ia tetap pergi untuk bertemu teman-temannya dan melupakan semua itu. Ini pasti sebenarnya. A mencoba menghumorkannya.

Dan ketika ia sampai, tempat itu terlihat lebih ramai. Mobil berlalu lalang di gerbang masuk apartemen. B dan D memakai pakaian serasi. C menyapanya. Cuaca cerah.

Tapi entah karena pantulan matahari yang cerah, ia tidak melihat bagian putih sama sekali di mata B.

END

XXX

(A/N: ini part terakhir dan i'm a bit rushed so idk if its really fit and i'm kinda sucks at ending, aku cuma pengen cepet2 selesai... jadi beginilah. Anyway, kalo emang berhasil nakut-nakutin kalian, great, tapi kalo engga, selamat kalian bisa tidur nyenyak!

Yang pasti aku ngga bertanggung jawab dengan apa yg ada dibawah kasur)

EDIT: buat yg sedikit confused sama endingnya, jadi semua itu cuma bayangan A doang. Tapi bisa aja diinterpretasikan sebagai bayangan masa depan karena ia lihat itu di mata B setelahnya.

Keep HidingWhere stories live. Discover now