Part 2

163 17 12
                                    

Setengah jam lagi mereka bermain-main di air, akhirnya semua kelelahan dan naik ke atas. Mereka berencana untuk membersihkan diri dan memesan delivery untuk makan siang itu (dan sarapan bagi C). Tapi sebelum mereka keluar dari area kolam, B mengeluarkan kameranya.

"Tunggu dulu, ayo kita foto," katanya. "Untuk proyekku."

Walau A tidak tahu proyek apa. Tapi A melirik rambutnya yang acak-acakan karena air. Yang lain pun sama saja, tapi ia tidak percaya diri. Ia mengambil kamera D. "Aku saja yang foto, kalian berpose," ujarnya dan mencoba memilih sudut untuk mereka. Ia tahu latar belakang juga harus jadi sorotan selain mereka bertiga, ia menjauh beberapa langkah agar gedung di belakang mereka terlihat. "Kalian siap?"

Ia memfokuskan kameranya. Ini sudah sudut paling bagus. Ia bisa melihat jendela-jendelanya. Klik. Lalu ia melihat seseorang di beberapa lantai di atas, pria tua melihat ke arah mereka. Kedua alisnya yang bertaut bahkan bisa ia lihat dari kejauhan. Ia menyingkirkan ponselnya tapi pria itu tidak ada disana.

"Kau sudah selesai?" tanya B yang tetap tersenyum.

Maka ia mengambil foto lain dan kali ini tidak ada siapapun di latar belakang.

"Aku beritahu pada kalian," kata B di lift. Apartemennya di lantai 8. Mereka masih di lantai G. Dan liftnya tidak punya nomor 4. "Tempat itu jarang ditempati, jadi beri salam saat masuk, ya?"

"Buat apa bila jarang ditempati kalau begitu?" C bertanya.

"Karena tempat itu hanya tempat singgah," tebak D.

Semua menatapnya, terdiam. Lalu B tertawa. "Memang benar, itu bisa disebut tempat singgah. Ayah sering keluar masuk kota, dan tempat itu lebih dekat dengan tol daripada rumah." Ia mengangkat bahu. "Efisiensi."

Yang lain ber ooh lalu bunyi ding dan lift terbuka. Mereka di lantai 8.

Mereka dihadapkan dengan koridor kosong, seperti yang lainnya. Lampunya redup dan sunyi. A mengikat handuknya lebih erat karena kedinginan.

"Baiklah, kamar nomor 28," B melihat kunci yang di pegangnya dan menuntun mereka semua.

Ketika mereka sampai di depan kamarnya (yang jauh di sisi paling pojok dekat jendela menuju luar), mereka memberi salam saat masuk. Segera berebutan kamar mandi dan mencoba untuk melihat-lihat. Apartemennya sebenarnya hanya ada empat ruangan. Dua kamar dengan masing-masing kasur bertingkat, kamar mandi, dan ruang tengah dengan tv yang berhubungan langsung ke dapur.

Mereka membersihkan diri, dan tentu saja memesan makanan-lebih tepatnya pizza (porsi cukup untuk 8 orang yang membuat pengantar pizzanya melihat mereka dengan tatapan menjudge) yang segera habis oleh perut-perut kelaparan itu, dan menonton tv sambil mengerjakan pr bersama. A melihat keluar jendela, halaman depan gedung apartemen, berpikir bahwa ia sudah lama ingin tinggal di apartemen. Mungkin ia bisa meyakinkan orangtuanya untuk pindah kesitu. Atau setelah ia menghasilkan uang, ia akan keluar dari rumah dan menyewa tempat disitu. Ia akan menyewa di lantai tertinggi. Karena disitulah pemandangannya didapatkan.

"Wah, hari ini memang sangat cerah," ujarnya.

"Benar," C menengadah dari tugasnya. "Aku ingin melihat langit. Ayo kita keluar."

"Kau bisa lihat langit dari jendela saja," kata D.

"Itu beda. Maksudku, aku ingin main diluar di bawah langit bukan langit-langit."

"Aku tidak akan ikut keluar, kulitku sudah terbakar karena tadi," ujar B.

"Lagipula kau mau main apa diluar sana?"

"Entahlah, basket?"

Lalu D berkata bahwa ia sejak tadi sudah mengajak untuk bermain basket dengan yang lain tapi tidak ada yang menanggapi dan itu menyebalkan. "Aku nggak mau bergabung."

"Oke, bagaimana dengan atap?" usul C. "Tempat ini pasti punya atap, kan?"

"Tidak ada, C," kata B, masih mengerjakan tugasnya. "Tempat ini tidak punya atap."

"Itu tidak mungkin..."

"Mungkin saja kalau mereka nggak membuatnya, C."

"Dan kau pernah mengeceknya?"

"Tidak."

C mengerutkan alis pada B. Akhirnya B menghela nafas dan beranjak sambil membawa kameranya. "Oke, ayo saja bila kau benar-benar ingin kesana. Walau kukatakan, sama sekali nggak ada apa-apa di lantai 20."

Jadi lima menit kemudian mereka sudah berada di lift. Nomor 20 berkedip menyala. Ding dan lift terbuka di lantai paling atas. A sebenarnya sudah merasa tidak enak sejak tadi, sejak di kolam renang. Dan ia ingin hanya diam di apartemen daripada keluar berjalan-jalan. Tapi ia juga terpaksa ikut karena ia tidak ingin sendirian disana.

Angin dingin menerpanya tepat ketika mereka melangkah keluar lift. Ia sudah memakai dan mengancingkan jaketnya.

"Lihat, tidak ada siapapun bahkan," kata B, memfoto beberapa kali (A menyadari B memang suka memfoto banyak hal dan ia bahkan membawa kamera ke sekolah).

"Lalu apa yang kau foto?" tanya D.

B mengangkat bahu. "Hanya proyek saja."

Lampu di tempat itu rasanya lebih redup dibandingkan lantai 8, dan suasananya lebih aneh. A mengikuti yang lain, berjalan lebih pelan di belakang mereka, sementara mereka membicarakan tangga darurat yang seharusnya ada dan menuju ke atap. Koridor itu kosong.

"Kenapa tidak ada orang?" D bertanya sambil menatap pintu yang tertutup satu persatu.

"Tidak ada orang yang menghuni lantai ini," ujar B. "Hanya sampai lantai 15."

Lalu sekali lagi C bertanya tentang buat apa dibangun bila tidak digunakan dan membuang uang. Mereka berbelok ke kanan di pertigaan koridor. Lalu tiba-tiba A merasakan sesuatu sehingga dia menoleh ke belakang. Kosong.

"Ada apa?" tanya B.

"Entahlah," jawab A. "Kukira ada seseorang."

Lalu terdengar suara lantunan nyanyian dari speaker di dinding. Mereka berhenti berjalan, terkejut. Lagu itu terdengar keras dan lembut di saat bersamaan. Seperti lagu tradisional. A yakin mereka semua kini merasa merinding yang sama.

"Kita akan turun," D tiba-tiba berjalan dengan cepat di depan.

"Bukankah kita baru saja naik?" kata C. "Aku akan turun."

"Ada apa denganmu?" tanya B.

Tapi mereka semua sudah berjalan memutar menuju lift sebelumnya. Memencet tombol untuk ke bawah. Tidak ada yang mengobrol. Tapi lift itu rasanya naik dengan sangat lambat dan mereka rasanya seperti menunggu seabad. A sudah tidak betah di sana. Ia berdiri berdekatan dengan yang lain.

Kemudian ia melihat sesuatu di sudut matanya. Ia melirik ke sebelah kirinya, seseorang baru saja menutup pintu di ruangan tidak jauh dari sana. Ia melihat pada teman-temannya, tapi yang lain tidak menyadari. Dan ia mendengarnya. Suara langkah kaki.

Tidak ada orang yang menghuni lantai ini.

"Kita harus kembali," katanya, maju ke depan untuk memencet tombol lift yang sejak tadi sudah menyala. Liftnya belum datang juga.

"Kita memang akan kembali," kata B.

Dadanya berdegup kencang karena suara langkah kaki itu mulai menjadi dekat.

"Kalian dengar itu?"

Mereka hanya menatapnya. Ia tidak tahu apa mereka mencoba mendengar, atau mereka terlalu tegang.

"Tidak ada apa-apa, A," kata B. "Jangan konyol."

"Maksudmu lagu yang tadi?" tanya C.

Langkah itu makin dekat. Tap. Tap. Tap.

Lift masih di lantai 17. Siapa disana yang mau naik lift? 18. 19. Tap. Tap. Tap. Tap. 20. Tap. Tap... Tap.

Ding.

Lift terbuka, ada seorang siswa smp dan wanita tua disana. Mereka masuk, dan ketika A terakhir masuk, tiba-tiba ada yang mendorongnya dari belakang. A tersentak dan ternyata seorang cleaning service ikut masuk ke dalam lift juga. Ia menghela nafas yang sejak tadi ditahannya.

Namun ketika pintu lift tepat akan tertutup, tatapannya tertuju pada koridor di sebelah kanan. Seorang anak kecil berambut panjang melongokkan kepalanya dan tersenyum.

Keep HidingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang