Bab 02. Mawar Berduri

64 9 5
                                    

Cerita ini hanya fiktif belaka.
-
-
Jangan lupa vote sebelum membaca, comment sesudah membaca.

Akan ada rewards untuk 2 pembaca yang aktif.

Jangan jadi silent readers!

Happy wedding!🤍

Angin senantiasa menembus kulitku dengan damai

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Angin senantiasa menembus kulitku dengan damai. Paparan sinar mentari yang memayungi tempatku berdiri begitu setia mendampingi. Siang ini adalah salah satu waktu yang mampu membuat hatiku bergetar hebat. Hal ini disebabkan karena Adam memintaku untuk berbicara sesuda jam perkuliahan selesai.

Tidak ada yang aku persiapkan begitu matang, selain hati yang kuat sebagai pusat dari pergerakan cinta. Sebuah pertanyaan kini berkecamuk di dalam pikiran dengan bisingnya. Apakah aku mampu untuk sedikit saja menatap binar bening itu?

Aku sendiri pun tidak yakin, karena begitu lemah jiwa ini untuk berterus terang. Namun, seperti apa yang aku katakan sebelumnya, aku harus memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang bergejolak di dalam hati.

Dari kejauhan, seseorang yang memutus penantianku kini telah tiba. Dengan mata tajam bak elang pemangsa, ia menatapku penuh. Nyaliku kian menciut, takut jika pertahananku tidak berpenjaga.

Langkah kami semakin dekat. Perlahan aku pun dapat menghirup aroma tubuhnya yang harum.

"Udah lama?" Adam kini berdiri di hadapanku.

"Belum lama," jawabku seadanya. Kemudian Adam berjalan menuju kursi taman yang memang berada tidak jauh dari kami. Ia memutuskan untuk duduk sebelum melanjutkan ucapannya.

"Reth," panggil Adam. Aku sontak menoleh ke arahnya. Kedua netra kami bertabrakan, dan sialnya aku merasakan hatiku runtuh. "Gue tahu kalau kita udah kenal lama, tapi lo tau, kan, kalau kita nggak pernah bicara banyak sebelumnya?"

Aku mengangguk. Memang benar apa yang dikatakan oleh Adam. Kami sangat minim berinteraksi, meskipun kami saling mengenal. Entah apa yang menjadi tembok penghalang, rasanya sangat sulit untuk aku ... atau mungkin juga untuk Adam.

"Tapi, Reth ... lo harus tahu tujuan gue mengajak lo untuk ngobrol berdua kayak gini." Suara Adam terdengar begitu jelas di telingaku, hingga membuat aku terkejut karena jarangnya interaksi di antara kami.

"Kamu nggak mungkin ajak aku ketemuan kalau nggak ada sesuatu yang begitu penting. Kira-kira ada apa, Dam?"

Bersamaan dengan berakhirnya pertanyaanku itu, udara semakin terasa dingin. Aku tidak menyadari bahwa ada perubahan cuaca yang begitu signifikan. Jika tadi aku dapat menyaksikan bagaimana cantiknya matahari menyapa, kini aku harus bertemu dengan gulungan kapas hitam yang mengapung di atasku. Mendung menaungi kami di tengah empat buah gedung yang saling berhadapan satu sama lain. Aku dan Adam seakan berpeluk dalam khayal, menanti sebuah ucapan yang tidak kunjung keluar dari lisannya.

Adam mengangguk. Kedua alis tebalnya bertaut. Ia menatapku dengan pandangan yang kini melunak--tidak setajam saat pertama kali ia menginjak rumput taman ini.

Menjadi Dia (Lengkap)Where stories live. Discover now