"Time to move on," usul Ronald, sembari menepuk-nepuk punggungnya.

Abe bersandar lagi ke punggung sofa, mengamati baik-baik ekpresi bersimpati di wajah oriental lelaki itu.

"Bro," panggil Ronald penuh penekanan. "Nggak usah mikir aneh-aneh. Bersihin otak lo dari rencana-rencana tolol." Di sampingnya Ronald menggeleng-geleng, lalu melayangkan tinju kecil ke bisep Abe. "Lo jadi orang paling vokal ngatain Alfa goblok karena nungguin Inez, jangan paksa gue melakukan hal yang sama."

Alih-alih menunggu, otaknya justru merancang sesuatu yang lebih gila. Mengambil paksa miliknya. Lagi pula, dari tatapan singkat mereka, Abe masih menemukan sisa-sisa rasa Kian untuknya. Dia yakin mampu mengumpulkan remahan itu, setelahnya dibentuk seperti sediakala.

Terdengar gila, tetapi Abe merasa apa yang dilakukan Kian hanya hukuman dengan waktu tertentu.

Tiba-tiba, satu pukulan ringan dijatuhkan Ronald ke bagian belakan kepala Abe, sambil setengah teriak, "Anjing! Lo mikirin hal yang lebih tolol, ya?"

Abe tidak berkata apa-apa, hanya melengos.

"Abe, lo emang sedikit sedeng, tapi gue percaya lo nggak bakal setega itu." Gumpalan saraf di perut Abe menegang, karena faktanya, dia tega-tega saja. "Lo yang minta Kian milih jalan hidupnya sendiri." Lagi-lagi, dia diingatkan kalimat bodohnya bertahun-tahun silam. "Dia udah ngelakuin bagiannya, Bro." Penekanan kembali terdengar di suara Ronald, bagaikan kru penyelamat bertekad membawa hidup-hidup korban dari lokasi perkara. "Lo nggak pernah tahu apa yang dia lewatin setelah lo minta itu dari dia. Bisa jadi, dia gila-gilan memperjuangkan apa yang lo lihat hari ini. Berdiri tenang di depan lo, memamerkan anak, dan juga menjaga perasaan suaminya."

Abe merengkuh kasar gelas, menyesap minuman berlkohol dari Jepang tersebut dengan rasa muak, entah karena wejangan dari Ronald atau karena suara-suara dalam kepalanya semakin nyaring menyalahkan diri sendiri.

"Jangan coba-coba menghancurkan apa yang dibangun Kian," tegas Ronald.

Masa-masa di mana Kian menjadikannya pusat dunia muncul lagi di benaknya, hingga perut Abe merasa mual. Kian pulang ke keluarganya, tetapi tidak bisa lagi menjadi Kian-nya. Dan semua, berkat keegoisannya sendiri.

"Gue yakin lo pasti berani menghadapi kenyataan, kalau lo udah kalah telak."

Abe mengambil satu tenggakan lagi untuk mengusir rasa mualnya, lalu meletakkan kasar gelas ke meja serta berdiri secara tiba-tiba.

"Abe—"

"Lo yang bayar, dua minggu berturut-turut gue yang bayar."

Rasa mual Abe tidak bisa dihilangkan, dan kemungkinan sepanjang malam Ronald akan terus menghujani banyak petuah memuakkan untukya. Jadi, berdiam diri di kamarnya menjadi pilihan terbaik.

****

ABE memejamkan mata sejenak usai keluar dari lift pribadi unit apartemennya. Petuah Ronald tidak ada, tetapi berbagai jenis tuduhan mengikuti menyerupai bayangan. Sekeras apa pun Abe mengelak, kenyataan bahwa semua kekacauan di depan mata hasil dari ulahnya berada tepat di bawah kakinya.

Cukup lama Abe berdiam diri di lorong pemisah antara area pribadi dan public. Tadinya Abe berniat memasuki area pribadi yang terdiri dari; dua kamar tidur, satu workspace, satu entertainment room, tetapi dinginnya ac central membuatnya sadar ada manusia lain di sini.

Sebelum pergi menemui Ronald tadi, Abe sudah mematikan semua fasilitas apartemen, termasuk ac dan lampu. Dia tidak bisa menebak siapa yang ada di dalam sana, yang pasti anggota keluarga Bagaskara. Meski tanpa Abe di tempat, hak istimewa keluar-masuk tempat tinggalnya yang super private ini hanya milik keluarganya.

Someone To Love (ver revisi Possessive Pilot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang