Bab 1. Sang Pemandu

142 6 0
                                    

Perlahan, kuoleskan lipstik berwarna merah manyala itu ke bibirku sebagai sentuhan terakhir.

Setelah selesai, sekali lagi aku bercermin memeriksa riasan wajah dan rambutku. Sempurna. Semoga malam ini aku bisa memperoleh sedikit uang tip dari tamu.

Kulirik Adela yang sedang berdiri sambil membetulkan seragamnya. Tank top merah dan rok mini berwarna senada yang menampilkan lekuk liku tubuhnya. Juga sepatu hitam hak tinggi.

Room berapa, Del?” tanyaku.

“Biasa, 202. Lu di mana, Say?” Adela balik bertanya sambil mengibaskan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai.

“204,” sahutku.

“Oo ....” Adela mengangguk. Kemudian dia berjalan menuju pintu sambil melambaikan tangannya padaku.

“Gue duluan ya, Say,” pamitnya.

“Oke.” Aku tersenyum membalas lambaiannya.

Tak lama kemudian aku pun berdiri dan merapikan seragamku. Pakaian yang sama dengan pakaian yang dikenakan Adela.

Sekali lagi aku mengamati penampilanku.

“Oke,” kataku kepada diri sendiri sambil menghembuskan napas. “Mari kita mulai. Semoga rezeki lancar malam ini dan tidak ada masalah.”

Kemudian aku berjalan keluar ruang rias menuju room 204, ruang yang telah ditentukan untukku malam ini. Ruang tempat aku akan mulai bekerja.

Ya. Aku dan Adela sahabatku, adalah salah satu dari sekian banyak karyawan yang bekerja sebagai purel–pemandu karaoke–atau sering juga disebut Lady Companion (LC) di sebuah tempat hiburan malam bernama Angel’s Karaoke & Pub.

Tugas kami menemani dan melayani para tamu berkaraoke, menyuguhkan minuman, sekaligus menjadi teman mengobrol. Tamu yang sembilan puluh persen berjenis kelamin laki-laki, sebab terkadang ada juga tamu yang membawa pasangan atau teman-teman wanitanya.

Sebenarnya aku sendiri tidak begitu menyukai pekerjaan ini. Karena meski sudah dua tahun lebih menjalani pekerjaan ini, aku masih saja merasa risi jika ada tamu yang ‘sok akrab’. Main rangkul, colek-colek, peluk-peluk, belum yang tangannya suka ‘bergerilya’. Aku tidak pernah terbiasa dengan semua itu.

Bahkan ada yang terang-terangan mengajak lebih dari itu, membuat batin ini mau menangis. Rasanya diri ini begitu hina.

Namun, tamu adalah raja. Bila mereka tidak puas, marah, atau tersinggung, maka imbasnya adalah ke perusahaan. Lalu risiko dipecat pun tak terelakkan. Sementara aku belum siap keluar dari pekerjaan yang sudah menghidupi keluargaku selama ini. Karena itulah, mau tidak mau aku harus bertahan.

Untungnya selama ini aku selalu berhasil menolak semua itu dengan cara yang halus dan tidak membuat mereka tersinggung.

Memasang senyum palsu saat hati merasa terhina dan direndahkan sungguh membuat lelah jiwa dan raga.

Hampir tiga jam aku berada di room itu bersama seorang purel lainnya menemani empat orang lelaki berusia sekitar akhir tiga puluhan, bergantian bernyanyi dan mengobrol. Mereka adalah pekerja kantoran yang sedang mencari hiburan selepas bekerja seharian.

“Windy ... biasanya kamu selesai kerja jam berapa?” tanya Mas Bimo–salah seorang tamu yang sedang kutemani–begitu kami kembali duduk sehabis berduet menyanyikan sebuah lagu.

Mas Bimo ini lumayan sering datang dan memakai jasaku. Dia, katanya adalah seorang duda dengan satu anak yang bekerja sebagai Manajer Pemasaran di sebuah perusahaan yang cukup besar.

Aku tersenyum dan melirik sekilas sambil menuangkan minuman.

“Memang kenapa, Mas?” Kusodorkan minuman itu kepadanya. Dia menerima gelas itu, tapi tidak langsung meminumnya. Lelaki berkulit putih bersih itu malah memandangku dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Hhmm ... Mas kepingin nganterin kamu pulang. Pingin ngobrol-ngobrol sama kamu,” katanya.

“Loh, ini kan kita lagi ngobrol, Mas,” jawabku manis, pura-pura tidak mengerti maksudnya sambil menyunggingkan senyum palsu.

Mas Bimo tersenyum dan meneguk minuman itu. “Maksud Mas, Mas pingin kita saling mengenal lebih dekat lagi. Kalau di sini kan waktunya terbatas,” jelasnya kemudian.

Alasan klise yang sudah kelewat sering kudengar dari mulut manis tamu-tamu ‘nakal’, meskipun Mas Bimo selama ini selalu sopan dan tidak pernah kurang ajar kepadaku.

“Oh begitu ... Angel’s kan tutup jam tiga. Windy biasa keluar sekitar jam empat, Mas. Tapi malam ini Windy nggak pulang ke tempat kos. Windy tetap di sini. Istirahat sebentar, soalnya paginya mau pergi sama teman-teman,” sahutku berbohong.

Alasan yang selalu kupakai bila ada yang ‘ingin mengenal lebih dekat’. Aku tidak ingin memberi harapan dan bermain api dengan siapa pun.

“Yah ... kapan dong Mas bisa ngajak kamu keluar?” tanyanya lagi agak kecewa.

Lagi-lagi kusunggingkan senyum palsu.

“Kapan-kapan ya Mas, lagi pula kalo Mas nganterin Windy kan pasti nunggunya lama banget. Sekarang aja masih jam sebelas.” Kulihat jam di pergelangan tanganku. “Eh ... waktunya sudah hampir habis nih Mas,” sambungku.

Benar saja. Tak lama layar besar di depan kami menampilkan pemberitahuan batas waktu yang sudah habis.

Aku hanya tersenyum mengangguk saat Mas Bimo dengan agak berat hati berpamitan padaku dan berjanji akan datang lagi segera. Sepertinya dia masih enggan untuk beranjak.

Aku menghembuskan napas lega saat rombongan pria itu keluar ruangan.
Satu tugas telah kuselesaikan.

***

Jam empat dini hari, pekerjaan kami selesai. Setelah berganti pakaian, aku tidak melihat Adela di ruang rias.

Biasanya aku dan Adela saling menunggu untuk pulang bersama ke tempat kos. Kami memang tinggal di tempat kos yang sama.

Mungkin dia menunggu di lobi, pikirku sambil menyandang tas dan berjalan keluar ruangan.

“Win!” Kudengar seseorang memanggil.

Aku menghentikan langkah dan menoleh. Kulihat Sherly bersama dengan Flo, Tasya, dan Kiki berjalan mendekatiku.

.“Mau ikutan cari makanan sama kita-kita, nggak?” tanyanya.

“Dih, subuh-subuh gini mau cari makanan di mana?” Aku balik bertanya.

“Ada deh ..., sekalian hang out. Yuk ikut. Kita rame-rame sewa mobil Mang Ucup.” sahut Tasya.

Aku menggeleng. “Nggak ah, Gue ngantuk. Mau langsung pulang aja sama Dela. Ada yang lihat dia nggak?”

“Nggak,” jawab Flo. Yang lain pun menggeleng.

“Ya udah, kita duluan ya ....” Kami saling melambaikan tangan. Aku meneruskan langkah.

“Ke, lihat Adela?” tanyaku sesampainya di lobi pada Keke, resepsionis yang bertugas di situ.

“Udah pulang duluan tadi, Win,” jawabnya sambil membereskan setumpuk kertas.

Aku mengerutkan kening. “Udah pulang? Sama siapa? Lah kok gue ditinggal?”

Keke tertawa kecil. “Sama gebetan barunya lah. Emang dia nggak bilang sama lu?”

Sama tamu? Penasaran, kuambil ponsel dari dalam tas, ingin meneleponnya. Tetapi baru saja kubuka ponsel itu, sebuah notifikasi pesan langsung masuk.

Dari Adela.

[Say, sori ... gue duluan, ya. Gue pulang sama Mas Yanto. Sampai ketemu di kosan.]

Aku menghela napas. Dasar Adela! Sepertinya dia serius dengan tamu yang satu itu. Padahal ... ah, aku menggeleng-gelengkan kepala dan meneruskan langkah.

***

Sahabatku si PelakorWhere stories live. Discover now