Bab 01. Namanya Adam

Start from the beginning
                                    

"Jangan aneh-aneh, deh, lo! Menyimpan sesuatu gimana?" Aku mulai tertarik dengan topik yang Dian bawa, karena aku merupakan salah satu orang yang mudah untuk overthinking.

"Gue juga nggak tahu, sih, cuma menebak aja," ujar Dian enteng. Sontak saja aku langsung mencubit lengan Dian dengan kencang sehingga ia berteriak kesakitan.

"Aw! Sakit, Aretha!"

Karena suara toa milik Dian itu, sekumpulan pemuda yang sedang berbincang di hadapan kami tadi langsung menoleh ke kami. Termasuk Adam.

Iris cokelat matanya bertabrakan dengan obsidianku beberapa detik sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Beberapa detik yang berharga itu mampu membuatku melebur dan menyublim secara bersamaan.

"Dian, lo bisa nggak usah teriak begitu, nggak, sih?! Itu lihat jadi perhatian banyak orang tahu!" omelku kepada Dian yang masih memegangi lengannya yang terasa sakit.

"Abis lo cubitnya kenceng banget, Tha. Lo nggak kasihan apa sama gue, hah?!"

Aku menyeruput es teh yang sedari tadi berada di atas meja sebelum berkata, "Nggak!"

Dian melengos ke arah lain. Aku tahu kalau saat ini Dian tengah kesal kepadaku. Aku, sih, tidak peduli. Siapa suruh Dian membuatku penasaran dan overthinking?

"Ian, kalau misalkan gue confess, apa hati gue siap buat menerima jawaban apapun?" tanyaku tiba-tiba. Entah kenapa aku mulai merasa lelah dengan rasa yang selama ini aku sembunyikan. Aku merasa setidaknya Adam harus mengetahui soal ini. Bukannya aku berharap ingin menjadi kekasihnya, aku hanya mencoba menyelamatkan hatiku dari rasa cemas yang berkepanjangan karena selalu memendam perasaan dalam diam. Aku hanya ingin mengatakan secara gamblang bahwa sejak dulu, ada insan yang berhasil membuatku memilih untuk tidak membuka hati untuk siapa pun.

"Confess aja, sih, menurut gue. Kalau lo mau hidup lo tenang dan nggak ada beban sama sekali, lebih baik lo bilang sama dia. Lagi pula lo sekadar mengungkapkan, kan? Bukan mau jadi pacarnya."

Aku memahami kalimat yang barusan aku dengar, dan apa yang dikatakan Dian itu benar. Ada hal yang harus disimpan dan ada hal yang memang harus segera diutarakan agar tidak menderita di saat kita harus menyimpan semuanya sendiri. Setidaknya dengan mengungkapkan sesuatu yang ingin diungkapkan, kita bisa merasakan kelegaan setelah melakukannya. Karena apa-apa yang dipendam itu tidaklah baik untuk diri sendiri.

"Beneran?" Aku mencoba meyakinkan.

Dian hanya mengangguk mengiyakan.

Apakah ini artinya aku harus mengungkapkan segala perasaanku selama ini kepada Adam?

Akan tetapi, bagaimana jika nanti dia malah terganggu dengan apa yang aku utarakan? Siapkah hatiku untuk menerima segala konsekuensi yang aku dapatkan nanti?

Aku tidak pernah tahu sebelum aku benar-benar mencobanya.

"Gue bakalan coba," ucapku mantap yang disambut acungan jempol oleh Dian.

"Lebih cepat lebih baik," tambahnya.

Aku berdiri dan meninggalkan kantin dengan detak jantung yang perlahan normal. Sepanjang aku berada di sana, adrenalinku seakan diuji karena sang penguji sedang terduduk manis di hadapan, sayangnya dia tidak pernah mengetahui apa yang aku rasakan. Namun, seperti apa yang aku katakan tadi, aku harus mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri dengan cara mengungkapkan perasaanku pada Adam. Secepatnya.

***

Tidak ada hal yang membahagiakan bagiku daripada dipertemukan oleh Adam. Hari ini aku akan bertemu dengan Adam karena mata kuliah dan kelas yang sama. Hanya sebatas itu, tapi berhasil membuatku bersemangat untuk menjalani hari. Sudah kubilang bahwa bahagiaku sederhana saja, melihat Adam tersenyum, meskipun penyebabnya bukan diriku. Itu sudah lebih dari cukup.

Di perjalanan menuju kelas, aku mencari flashdisc-ku yang entah terselip di mana. Mataku hanya fokus ke dalam isi tas, sedangkan tanganku sibuk untuk merogoh bagian terdalam tas putihku. Sialnya aku tidak menemukan benda kecil itu di dalamnya, hingga aku berdecak kesal. Aku mengumpat karena merasa marah terhadap diriku yang ceroboh. Mata kuliah ini begitu penting, tetapi aku malah menghilangkan benda itu. Saat aku ingin berbalik badan menuju parkiran mobil, tidak sengaja aku menabrak seseorang sehingga aku terjatuh ke lantai.

"Aduh! Maaf ... gue nggak sengaja nabrak lo." Aku berusaha meminta maaf di saat hatiku tidak dalam keadaan baik. Sebenarnya aku ingin sekali memaki orang itu karena menjadi penyebab aku terjatuh, tapi setelah dipikir-pikir, aku juga yang salah.

"Aretha?" Aku mematung setelah mendengar panggilan itu. Sungguh aku sangat mengetahui suara siapa yang berhasil masuk ke dalam indera pendengaranku. Seluruh darah di dalam tubuhku seakan terhenti, menyambut dengan hangat karena suara itu berhasil pula membuat peredaran membeku. Aku seperti patung hidup yang tengah tersungkur.

Tidak lama sebuah tangan terulur ke arahku. Dengan sebuah gelang berwarna perak berlogo one piece, aku langsung tahu siapa orang yang berada di hadapanku saat ini.

"Aretha, bangun!" Suara itu kembali terdengar, kali ini begitu mendominasi. Dengan gerakan cepat, aku langsung menyambut uluran itu dan berdiri di hadapannya.

"Adam?" Napasku tertahan sejenak karena jarak antara kami begitu dekat. Ingin sekali aku berteriak saat itu juga karena berhasil melihat wajah Adam dari jarak sedekat ini.

"Sakit?" tanya dia dengan ekspresi yang sedikit bingung.

"Nggak! Aku ... nggak apa-apa." Adam mengangguk. Kemudian ia merogoh saku celana dan mengeluarkan benda kecil yang sedari tadi aku cari setengah mati.

"Punya lo?" tanya Adam memastikan, sedangkan aku masih terpaku dan tidak menggubris ucapannya. "Aretha, punya lo?"

"Eh? Iya, ini punya aku, Dam. Kamu ketemu di mana?"

"Di parkiran mobil, jatuh."

"Terima kasih, Dam. Kalau gitu aku ke kelas duluan." Aku segera memutar tubuh membelakangi Adam. Jika aku kuat menghadapi Adam, tentu aku akan mengusahakan berbagai cara untuk berlama-lama di hadapannya. Namun, realitanya sangat berbeda. Aku tidak sanggup untuk menahan debaran jantung dan tatapan mata tajam milik Adam yang berhasil menembus tembok pertahananku.

Aku berjalan terburu-buru. Tidak ada derap langkah yang mengikutiku dari belakang, yang artinya Adam masih terdiam di tempatnya. Aku pun terheran, jika adam menemukan flashdisc milikku di parkiran, kenapa ia tidak memanggilku sedari awal? Kenapa saat aku memutuskan untuk berbalik badan ia baru mengatakan?

Aku menggeleng, mencoba menepis segala overthinking-ku yang tidak beralasan. Yang terpenting sekarang aku harus memikirkan bagaimana cara bertahan hidup di kelas hari ini, karena aku akan lebih banyak menyaksikan Adam daripada hari-hari biasanya.

Namun, baru saja aku ingin memasuki kelas, sebuah panggilan sukses membuat tubuhku kembali menengang.

"Aretha."

"Gue mau ngomong."

To be continue

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

To be continue ....

Menjadi Dia (Lengkap)Where stories live. Discover now