Part 9

1.9K 164 21
                                    

"mau makan di atas?" aku menatap Bara dan menggeleng, nafsu makanku lenyap entah kemana, setelah tangisku reda Bara memesankan makanan melalui layanan kamar tapi apa yang ada di hadapanku tetap saja membuatku tidak berselera, pikiranku kacau bahkan aku merasa jika tubuhku sudah ternoda.

Drrrttt drrrtttt

"ya Kal?" sepertinya itu telepon dari Kalila, sementara Bara sibuk bertelepon aku hanya mengaduk saladku tanpa minat sama sekali.

"Kalila nggak bisa kesini omanya sakit dan mereka sekeluarga harus pergi ke Banjarmasin,"

"aku sendirian di sini?" aku menatap Bara dengan tatapan takut, jujur aku tidak mau ada di sini seorang diri.

Bara mengulurkan tangannya dan menyentuh lembut tanganku yang ada di atas meja, "saya akan bawa kamu ke tempat yang aman dan saya sudah berjanji kalau saya akan melindungi kamu apapun yang terjadi,"

Kami berdua pergi dari hotel, entah Bara membawaku kemana di dalam mobil aku hanya terbayang semua fotoku yang dikirimkan oleh om Redi, bahkan ketika aku terbayang wajah lelaki setengah baya itu bulu kudukku meremang dan aku bergidik ngeri.

"Cha?" aku terlonjak ketika Bara menyentuh tanganku bahkan dengan spontan aku menepis tangan Bara "hei, kamu kenapa?" kupejamkan mataku sejenak lalu menghembuskan napas pelan.

"ini saya, saya nggak akan nyakitin kamu," tanganku terasa hangat karena genggaman Bara, dengan perlahan kubuka mataku dan kualihkan wajahku untuk menatap Bara. "kamu akan aman di sini, percaya sama saya,"

Aku baru sadar jika mobil Bara sudah berhenti di sebuah halaman rumah yang megah, ukuran rumah ini sepertinya dua kali lipat rumah Bara, "kita turun sekarang,"

Dengan perasaan bingung aku mengikuti Bara untuk turun dari mobil, kuedarkan pandanganku rumah ini memiliki halaman yang luas, pagar rumahnya pun menjulang tinggi khas rumah konglomerat.

"ayo," Bara menggengam jemariku dan membawaku berjalan menuju pintu rumah "ini rumah siapa mas?"

"rumah orang tua saya," langkahku sontak berhenti Bara pun ikut berhenti dan menatapku dengan tatapan penuh tanya "mas masih waraskan? Ngapain mas bawa aku ke rumah orangtua mas?"

"ya ampun Bara kamu bawain mama calon mantu?" seorang wanita paruh baya keluar dari rumah dan menghampiri kami yang masih ada di teras.

"ehh bukan tante,"

"habis ini Bara jelasin," Bara berucap sambil menarikku untuk masuk ke dalam rumah meninggalkan mamanya yang masih menatapku dengan tatapan berbinar.

Bara membawaku ke lantai dua, rumah ini hanya dua lantai tapi sangat luas aku yang masih kebingunganpun terlena dengan interior rumah orangtua Bara, sangat menggambarkan keluarga kaya raya.

"mulai hari ini kamu tidur di sini, anggap seperti rumah kamu sendiri," Bara tidak membawaku ke kamar tamu melainkan kamarnya aku menyadarinya ketika melihat foto Bara berseragam lengkap yang terpajang di atas nakas samping tempat tidur.

Aku hendak membantah tapi Bara mengusap lembut pipiku membuatku membatu seketika "saya akan jaga kamu, apapun yang terjadi, sekarang kamu istirahat saya harus kembali ke kantor,"

sepeninggal Bara aku terus merenungi semua kalimat yang dilontarkan oleh Bara, semua yang Bara katakan terlihat seperti seseorang yang begitu mengkhawatirkanku bahkan cenderung terlihat memiliki perasaan sayang.

Tok tok tok

"sayang," aku terlonjak ketika mama Bara yaitu tante Safira masuk ke dalam kamar sambil membawa mug dengan senyuman lembut yang terpatri di wajah ayunya.

Entah kenapa air mataku meleleh begitu saja, "kok nangis?" tante Safira meletakkan mug diatas nakas dan mengambil posisi duduk di sebelahku dan memelukku, "kenapa nangis?" tangan lembutnya mengusaplembut punggungku membuat tangisanku semakin menjadi.

"ini bukan salah kamu, ini salah dia emang dianya aja mata keranjang, udah tua bangka banyak tingkah lagi," tante Safira melepaskan pelukan kami dan mengusap lembut pipiku yang sudah basah dengan air mata.

"Ocha ngerasa kalo Ocha ini kotor tante, Ocha-"

"no no, kamu nggak perlu merasa seperti itu, dia nggak menyentuh kamu jadi kamu nggak perlu merasa kotor oke?"

Kupatut tubuhku di depan cermin, aku hanya memakai jumpsuit berwarna sage, kusentuh pelan dadaku menyiapkan diri untuk bertemu dengan kedua orangtua Bara, mungkin bertemu dengan tante Safira aku sudah biasa tapi dengan papa mas Bara yaitu Om Mahawira adalah hal yang membuatku gugup dari tadi.

"Cha," suara Bara terdengar dari luar kamar membuatku meninggalkan cermin dan membuka pintu.

Senyuman Bara adalah hal pertama yang kulihat setelah pintu terbuka sungguh sesuatu yang sangat jarang terjadi seorang Barata Mahawira menampakkan wajah penuh kelembutan dan tersenyum, seperti bukan Bara saja.

"ini buat kamu," Bara menyodorkan sebuah paperbag dengan logo apel tergigit "ini apa?" aku tidak berharap isinya sesuatu yang wah karena logo paperbag itu.

"dua hape kamu ada di saya jadi ini sebagai gantinya," ponselku memang dipegang oleh Bara sejak kami masih ada di hotel tadi.

"dia kirim chat lagi?" aku menatap Bara dengan tatapan cemas, "itu semua sudah menjadi urusan saya, jangan pikirkan apapun lagi, cas dulu hapenya habis ini kita makan malam,"

*****

Kutatap semua hidangan di atas meja dengan bingung, kami hanya berempat tapi meja makan luas itu hampir terisi penuh, apakah selama ini cara makan keluarga Bara memang seperti ini?

"makan nasi ya?" Bara membalikkan piringku dengan cepat dan mengisinya secentong nasi "mau lauk apa?" kusentuh tangan Bara "aku bisa ambil sendiri kok mas," aku malu dengan tatapan orangtua Bara, keduanya menatap kami dengan penuh minat.

"mau makan apa?" bagus sekali Bara sedang ada di dalam mode tidak bisa ditolak.

Kuhembuskan napas pelan "udang asam manis aja," jawabku kalem.

"Bara mama mau dong diambilin juga,"

Tante Safira menatap jahil Bara membuat pria itu mendengus dan mengisi piringnya sendiri, "Bara, papa sudah minta bantuan bagian hukum jadi nggak ada yang perlu dikhawatirkan lagi,"

"tuh kamu dengar kan Cha? Kamu jangan takut pokoknya kita bakalan masukin si anjing gila itu ke kandang,"

"ma," om Mahawira terlihat tidak suka dengan ucapan yang dilontarkan oleh tante Safira tapi sepertinya tante Safira tidak peduli dengan itu.

"maafin saya ya om jadi ngerepotin om,"

"tidak ada yang bisa mengusik keluarga Mahawira siapapun itu,"

Perkataan om Mahawira terdengar ambigu bagiku karena aku bukanlah keluarga Mahawira, sepertinya sifat Bara yang ucapannya sering ambigu itu memang menuruni sifat papanya Bapak Mahawira.

ARAH (The Journey)Where stories live. Discover now