Panca pun mengarahkan pandangan ke sebelah utara. Pikirannya menerawang sambil memandangi hamparan kebun teh nan hijau. Langit biru dengan goresan awan putih menjadi latar yang indah nan menyejukkan mata. Tampak para pegawai yang baru saja selesai bekerja berjalan-jalan diantara pohon-pohon teh yang baru dipetik daunnya.

"Aku merasa, jika harimau itu ... tidak datang dari hutan yang jauh," Anna bicara pelan.

Panca menoleh ke arah Anna.

"Ya, kurasa begitu."

Panca tidak memberikan tanggapan. Dia berpikir. Dalam beberapa saat tidak ada perbincangan diantara mereka. Justru hewan-hewan ternak yang bersahutan malah mengisi keheningan itu. Ditambah, tangisan seorang anak pegawai perkebunan karena terjadi perselisihan diantara mereka.

"Nona, pernahkah kau berpikir ...."

"Berpikir apa? Setiap hari aku berpikir. Memikirkan banyak hal. Kau yang jarang berpikir!"

"Nona, aku tidak sedang bercanda."

"Baiklah. Lantas apa yang ingin kau bicarakan?"

Panca menghela nafas. "Kenapa ... saya senantiasa didekatkan ... dengan masalah?"

"Hahaha, bukankah hidup memang seperti itu?"

Anna menanggapi keluhan Panca dengan raut wajah biasanya saja. Dia hanya memusatkan perhatian pada sasaran tembak yang sudah disediakan seorang anak kecil.

"Kau ini, bicara seperti orang dewasa saja."

Panca kembali mengarahkan senapan ke guci-guci yang berjejer di sebuah papan. Panca berusaha menembak. Tapi, meleset.

"Hai, hati-hati. Kau bisa salah tembak!"

"Maaf."

"Untungnya, di belakang sasaran tembak itu hanya tebing. Peluru tidak harus menyasar manusia. Tapi, kenyataannya kau akan dihadapkan pada keadaan yang serba tak terduga."

"Iya. Akan saya ingat pelajaran hari ini, Bu Guru."

"Aku bukan gurumu."

Panca meletakkan senapan di bangku. Anna memarahinya karena menyimpan senapan secara sembarangan.

"Ingat, bisa jadi sasaran tembak itu adalah seekor harimau. Artinya, senapan yang kau bawa harus ...."

"Ya ya ya, aku mengerti. Kau cerewet."

"Aku peduli kepadamu! Tempo hari aku melihat dengan mata kepalaku sendiri jika kau dan ayahku hendak diterkam harimau! Kau berpikir aku cerewet?"

"Baiklah, aku berterima kasih untuk itu."

"Aku merasa, suatu saat ... bisa saja ada lagi seekor harimau yang tiba-tiba berkeliaran di Batavia. Kau harus berhati-hati."

"Kenapa kau berpikir demikian?"

"Entahlah. Itu hanya dugaan diriku saja. Apa pun bisa terjadi pada kita, benar kan?"

Panca memandangi sekeliling rumah perkebunan milik Tuan Eickman. Para pekerja sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang mengangkut teh dalam karung-karung besar. Beberapa orang memikul rumput untuk pakan kuda, sapi, domba dan kambing.

"Nona, hari sudah siang. Aku harus pulang."

Anna menganggukkan kepala. Sembari merapihkan rambutnya yang terurai.

"O ya. Tempo hari aku melihat kereta kuda yang kau tumpangi ada di rumah sakit. Benarkah kau berkunjung ke sana?"

"Ya. Aku dan ayahku memenuhi undangan Dokter Sebastian."

Panca meraih dua keranjang kosong untuk dipikul. Sedangkan Anna membawa dua senapan dengan mengaitkan talinya di pundak. Mereka berdua berjalan ke arah rumah bergaya Indo Eropa. Cat warna putih begitu kontras dengan alam sekitarnya yang hijau.

"Hei, Bruno. Kau kemana saja?" Panca menyambut kedatangan seekor anjing yang mendekat.

"Dia tidak mau mendekat kalau aku sedang berlatih menembak."

"Mungkin dia takut."

"Hei, kau tahu. Di rumah sakit itu ada anjing yang mirip dengan si Bruno. Dia betina."

"Bisa kau jodohkan."

"Ya, lain waktu akan aku akan mengajak dia ke sana."

Anna dan Panca pun tiba di depan beranda. Anna berhenti melangkah.

"Kau pun sesekali harus datang ke sana. Banyak hal menarik yang bisa kau lihat."

"Menarik? Misalnya?"

"Eee, aku melihat seorang anak gadis membunuh seekor ular."

"Apa menariknya? Itu hal biasa."

"Tapi, dia membunuh seekor ular kobra."

Panca terdiam. Ini baru menarik.

"Menimpa kepalanya dengan batu, tanpa ampun sampai hancur."

"Membayangkannya pun aku mulai jijik."

"Sungguh gadis tak berperasaan. Wajar saja dia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa."

Panca menatap Anna. "Nona, bagaimana ciri-ciri gadis itu?"

"Dia sekira berumur sepuluh tahun. Rambutnya sedikit pirang dan bergelombang, kulitnya tentu saja putih ...."

"Apakah namanya Sophia?"

"Ya, kau mengenalnya?"

"Bukan hanya aku yang mengenalnya. Warga Batavia sangat mengenalnya. Jika Sophia yang aku maksud adalah Sophia yang sama dengan yang kau temui."

"Bagaimana bisa dia begitu terkenal?"

"Dia pernah berusaha ... membunuh Gubernur Jenderal ...."

Panca dan Amarah SophiaWhere stories live. Discover now