14

104 31 0
                                    

Datang dengan pikulan di pundak, Panca senang karena sudah sampai di tempat tujuan. Baju tanpa lengan anak remaja itu basah kuyup oleh keringat.

"Berat? Bawa pikulan seperti ...."

"Seperti apa? Memangnya kau bisa?" Panca ketus menanggapi Anna.

"Hei, kenapa kau tidak ramah kepada pelangganmu? Seharusnya kau datang dengan wajah penuh dengan senyuman."

"Ya, ya, ya. Lantas, guci-guci ini mau kau apakan?"

"Seperti biasa, aku jadikan sasaran tembak."

Sebenarnya Panca tahu untuk apa dia mengirim begitu banyak guci. Bukan pertama kali dia mendapati Anna menjadikan guci-guci sebagai sasaran tembak. Diletakan di atas papan atau digantung di bawah dahan pohon, kemudian moncong senapan sengaja diarahkan ke sana.

Brakk!

Sebuah peluru mengenai sasaran tembak. Asap kecil tampak mengepul keluar dari moncong senapan.

"Ya, terlalu dekat. Bisakah kau menembak dari jarak jauh?" Panca menantang Anna.

"Kau sendiri, bisa menembak?"

"Sebaiknya saya pun belajar."

"Memang seharusnya begitu." Anna meraih senapan cadangan yang tersandar di bangku. "Ini senapan milik ayahku. Sudah saatnya kau belajar menembak. Jika suatu saat ada seekor harimau masuk kampung, kau bisa menembaknya."

"Ah, tapi saya tidak berniat menjadi pemburu."

"Kau pikir aku berniat menjadi pemburu?"

Panca meraih senapan yang diberikan oleh Anna. Untuk beberapa saat, senapan itu hanya dilihatnya saja.

"Kau ragu?"

Panca terdiam.

"Kau bayangkan, jika seekor harimau tiba-tiba ada di dekatmu. Seperti kejadian tempo hari di Batavia, setidaknya kau bisa menembak mereka."

Sebelumnya, Panca belum pernah menggunakan senjata itu. Dia tidak semahir Anna dalam hal menembak. Tidak ada orang dewasa yang mengajari Panca menembak. Kali ini, Anna memiliki alasan untuk mengajarkan menembak.

"Aku hanya tidak ingin melihatmu mati diterkam harimau."

Panca tersenyum.

"Kenapa tersenyum?"

"Nona, ternyata kau cukup perhatian padaku."

"Perhatian? Aku mengajarimu menembak ... tidak gratis."

"Saya harus membayar?"

"Kau harus memberikan potongan harga untuk guci-guci ini."

"Ah, Nona. Aku lebih baik tidak belajar menembak dibandingkan harus memberikan potongan harga. Nona, kami harus membayar pegawai yang membuat guci-guci ini."

Anna tertawa.

Hari itu menjadi hari pertama Panca belajar menembak. Dia berpikir jika sudah saatnya untuk belajar menembak. Meskipun dia tidak memiliki senapan, setidaknya sudah mempersiapkan diri jika dibutuhkan.

"Raden, pernahkah kau berpikir, kenapa harimau itu ada di kota seperti Batavia?" Anna bertanya sambil mengarahkan moncong senapan.

"Tentu saja saya pun berpikir begitu. Hingga semalam saya memikirkan itu. Bahkan saya menjadi sulit tidur karenanya."

Brakk!

Satu lagi peluru mengenai sasaran tembak. Kemudian Anna duduk di bangku yang sengaja diletakkan di tengah pekarangan.

Panca dan Amarah SophiaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant