8 | Dunia, Ramahlah pada Dega

9.8K 1.4K 403
                                    

Vote !

.

.

.

Pagi begitu cerah, ditambah Daddy di rumah. Rumah rasanya semakin hangat dan renyah.

Sekarang kami bertiga sarapan bersama layaknya keluarga bahagia. Gue ngerasa hidup gue sempurna memiliki mereka semua, ada Orenjus ditambah Mas Al dan Ibuk juga di seberang sana yang open minded, yang nggak peduli siapa pacar Mas Al yang penting anaknya bahagia.

Iya, Ibuk Mas Al tahu kami pacaran, tapi Ibuk nggak masalah, bahkan beliau kayaknya sayang banget ke gue. Kadang kalau Mas Al di rumah atau ikut ke toko roti dan kebetulan kami lagi video call-an, pasti Ibuk ikut nimbrung sebentar, ngobrolin hal random dari kebiasaan buruk mas Al yang bakalan mandi satu kali kalau libur sampai resep kue kering. Atau kadang tiba-tiba ibuk minta video call cuma mau bilang kangen doang. Lucu, nggak anaknya nggak ibuk-nya sama-sama kangen.

Beliau cantik, sorot matanya teduh, semua tutur katanya lembut mirip mommy tapi dengan aksen kental bahasa jawa-nya. Selalu doain gue sehat, dan selalu kasih gue dorongan kalau gue bisa jalanin hidup kayak orang-orang normal.

Jujur sekarang gue senyum ceritain ini. Gue udah terang-terangan sama Mas Al kalau gue mengidap agoraphobia parah dan dia juga cerita ke Ibuk, lalu respon mereka? Mereka nerima segalanya, makanya Mas Al nggak pernah maksa ketemu, meski kami sering berhalu jalan berdua, gandengan tangan atau bahkan mendaki gunung.

Halu kami emang makin jadi, seolah kami memiliki hubungan layaknya orang pacaran di dunia nyata meski hanya lewat maya. Sentuhan, pelukan, bahkan cium virtual kadang gue typing ke dia. Ditambah mas Al terbiasa sama gue yang seorang author dan punya sihir ini, jadi dia bisa merasakannya, di mana apa yang gue tulis rasanya akan tersalur menjadi nyata, meski hanya ketikan dan susunan kata, tapi apa yang gue ketik ke dia selalu gue sematkan rasa di sana.

Kemarein sore, Mas Al ngajak gue naik ke lereng gunung Lawu meski cuman dengan video call, itu cuman di lereng gunungnya doang, sih! Tepatnya di Camp ground Tawangmangu katanya, tapi itu udah indah banget asli.

Gue di rumah, bahkan duduk manis dengan tompang dagu nonton apa yang Mas Al tunjukin ke gue. Semuanya, dari dia naik, nyiapin hammock buat tidur, bikin api dan bikin kopi. Hangat! Meski gue nggak di sana tapi seolah dia benar bawa gue ke sana.

Mas Al tunjukin gue matahari tenggelam, indah ... banget, jingga di sana, ada merah mirip kilang minyak mawar di langitnya, luas dan memanjakan mata pun mendamaikan jiwa. Gue suka. Hingga detik langit jingga itu berubah hitam taburan bintang menyala, ada rembulan juga yang tanpa malu-malu mempertontonkan semua keindahan yang dia punya.

Alam memang luar biasa, seluar biasa Mas Al yang ngajak gue bahagia dengan caranya membawa dunia ke gue yang nggak bisa ke mana-mana.

"Cantik ya, Dek?!" katanya semalam. "Kapan-kapan kita ke sini bareng, tidur satu hammock terus pelukan,"

Gue ketawa ringan ingat kalimat itu semalam, hingga—

"Kenapa ketawa?" Daddy nyadarin dan ngajak gue kembali ke dunia nyata.

"Hum?" dengung gue sambil netralin rasa kasmaran ini.

"Hem ... anak Daddy agaknya kasmaran," Daddy nyuap nasinya.

Gue cuma ngekekeh dan ngeruduk malu dengan pura-pura nyuap juga.

"Panters kata Mommy Dega selalu senyum-senyum sendiri, ditambah kata Mommy beberapa buku Dega dipinang penerbit, yah?" ejek Daddy makin jadi.

"Tiap hari dia senyum, lumayan rewel juga kadang, cuman mau video call-an aja minta pilihin kaos atau hoodie yang mana buat dipake," imbuh mommy dengan ikut ketawa.

ALFARIZKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang