9 | Dega Sayang Mas Al

8.8K 1.4K 195
                                    

Vote!

.

.

.

Gue turun dari gerbong tepat di belakang ibu yang duduk bareng tadi. Gue percaya beliau orang baik, jadi gue kasih tahu siapa nama gue dan kasih tahu tujuan gue kalau mau ketemu Mas Al.

"Udah yah, Mas Dega ... ibu buru-buru. Kamu ndak apa-apa, kan?" tanya beliau sambil kami berjalan menjauh dari kereta. "Mas Dega nunggu di mushola mau? Nanti ibu antar, nunggu di sana aja, yah! Yang aman? Semua orang di mushola pasti orang baik,"

Gue ngangguk.

Diantarlah gue ke mushola, dan ibu muda tadi ninggalin gue setelah bilang beliau benar-benar terburu.

Tangan ini masih berkeringat, jadi gue taruh kotak kaca Orenjus yang berembun ke sebelah gue duduk. Gue capek, gue lelah, terlalu banyak energi yang terkuras setelah nangis dan nahan ketakutan sepanjang jalan. Dunia beneran begitu besar, riuh dan ramai.

Apa yang gue liat di depan, apa yang gue dengar begitu bising dan seolah tertabrak-tabrakan di kepala. Gue pusing dan pening. "Mas Al ... cepetan datang," Getar bibir ini bergumam.

Pandangan gue mulai berkunang, terlalu banyak orang dan terlalu riuh. "Mas Al ...," panggil gue lagi. "Dega takut," Suplay oksigen rasanya mulai nggak nyampe ke otak. Antara setengah sadar dan nggak sadar orang-orang mulai berkerumun. Gue yakin gue mau pingsan, tapi sekuat tenaga gue tahan. Uluran tangan datang tapi justru itu nambah ketakutan. "Mas Al ...," lirih gue dengan nolak mereka yang mau nolong. Demi semesta ... gue nggak mau mereka, gue mau mas Al.

Gue makin takut saat seorang pria dewasa dengan perut buncitnya datang mendekat dan duduk di sebelah gue nawarin bantuan. Reflek gue menjingkut dan menuk kaki memposisikan diri sekecil mungkin mencoba berlindung di balik hoodie kebesaran ini. "Mas Al ...," panggil gue lagi dengan air mata kembali menyeruak saking nggak bisa gue nahan rasa takut ini, hingga—

"DEGA?"

—Suara Mas Al yang begitu lekat di hati dan telinga menyapa indra.

Terisak gue detik Mas Al nyibak kerumunan dan sosok gagah yang selalu gue liat di seberang lewat maya itu di depan mata. "Mas Al ...," panggil gue lirih dan coba berdiri dengan tungkai kaki yang begitu lemah dan lemas.

Ditubruk tubuh ini, didekap hangat tanpa peduli orang-orang, tapi gue merasa aman sekarang. "Dek?" Dia buka tudung hoodie gue lalu sibak rambut basah karena keringat dingin ini ke belakang, dibuka masker gue dan ditakup pipi ini. "Ini Mas Al,"

Pecah tangis gue.

Gue rengkuh lagi tengkuknya dengan kedua lengan tangan, nyembunyiin wajah basah ini ke ceruk leher. "Mas ...," isak gue menjadi tanpa kendali.

"Dalem, Sayang," Mas Al usap-usap kepala gue dengan satu tangannya merengkuh pinggang. "Jangan takut, jangan nangis ... Mas Al di sini," Suaranya getar yang gue yakin dia juga nahan kesedihan.

Mas Al urai peluk, sekali lagi dia takup pipi ini dan hapus air mata gue pakai kedua jari jempolnya lembut. "Kita duduk dulu, yah? Duduk?" Lembut suaranya.

Gue ngangguk.

Dituntun pergelangan tangan ini sama Mas Al setelah dia ambil kotak kaca Orenjus. Kami menuju bangku panjang di sana dan mas Al duduk. Gue ditarik duduk ke salah satu paha dengan tubuh ini menyerong ke arahnya di antara kedua kaki. Mas Al mendoak dan sekali lagi lap pipi ini. "Kita tunggu temen Mas, yah? Tadi Mas telpon Irsyad buat jemput kita,"

Gue ngangguk.

"Jangan takut, ada Mas Al, Oke?" Dia remas telapak tangan gue mungkin berusaha memberikan kekuatan, tapi jelas sorot matanya juga pilu liat gue begini. "Sekarang senyum, Dega senyum, yah ...! Boleh Mas Al liat senyumnya? Kita ketemu, Sayang," Gue tahu dia sekuat tenaga ingin merubah atmosfir sakit ini menjadi bahagia karena pertemuan yang diimpikan.

ALFARIZKYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang