Part 3

54 5 6
                                    

extra bonus buat pembacaku yang kangen sama aku

NP: Day6- What Can I Do?

--

Aku menyukaimu, aku tidak bisa menahannya
Meskipun aku tahu itu hal bodoh yang harus dilakukan
Aku hanya suka bersamamu
Aku bodoh, aku tidak berdaya

--

Juni 2010

Baskara

Hari kelulusan akhirnya tiba. Aku menyelesaikan 3 tahun dimasa sekolahku dan akhirnya aku berada dipersimpangan jalan untuk hidupku. Apakah aku menuju bangku Universitas, atau mungkin berkarir setelah selesai sekolah? Masa SMA-ku sulit kuungkapkan sebenarnya. Tidak suram, namun tidak berwarna-warni seperti kata orang masa SMA yang juga hanya terasa sedikit menyenangkan karena aku menghabiskannya dengan Kara.

Iya gadis itu, gadis yang menganggapku sebagai musuh abdinya. Tidak ada kata damai diantara kami walau saat kelas 11 wali kelasku sangat kesal melihat kami berdua selalu bertengkar hingga kami pernah masuk ke ruang BK serta dilakukan mediasi menggundang kedua orang tua kami namun hasilnya nilil dan di kelas 12 kami berusaha kembali berdamai tetapi sama saja menemukan jalan buntu. Karena kami sering bertengkar akhirnya selama 2 =tahun aku dan dia terpaksa duduk bersama dengan harapan kami bisa berdamai satu sama lain tapi nyatanya tidak sampai saat ini. Iya ia masih saja tidak menyukaiku. Pertengkaran kami terkadang dimulai dari masalah sepele bahkan kadang kami mulai bertengkar hanya masalah debat saat peresentasi. Kara memang gadis unik dan penuh pesona dan aku sangat menyukainya. Aku menyukainya karena ia penuh dengan semangat juang yang positif. Dimana kami berujuang menjadi wakil dari kota kami dalam OSN[1] walau lagi-lagi keberuntungan menghampiriku dimana aku keluar menjadi juara tetapi cara Kara berjuang dalam OSN membuat menganggumi gadis itu.

Setelah pengumuman kelulusan dan coret mencoret baju sekolah, Aku memilih mengasingkan diriku diatas rootrof sekolahku. Tempat penuh kesunyian dan sudut kesukaanku dimana disini lah aku sering menenangkan diriku.

"Bro?" panggil seseorang membuatku tersadar bahwa aku tidak sendirian disini.

Dari kejauhan aku menangkap sosok laki-laki tubuh sedikit lebih tinggi dariku berjalan kearahku. Itu Naren, sahabatku. Ia hanya dia yang paham bagaimana aku mencintai Kara dibalik sikapku yang selalu mengodanya dan menjadikannya sebagai musuh bebuyutan. Tapi aku terlalu pandai menyembunyikannya dan menolaknya pesona Kara di depan Naren.

Satu kalimat yang sering di ucapkan Naren denganku sejak kami pertama bertemu 'lo nggak capek apa berantem terus sama Kara? Apa berantem itu tanda cinta lo sama dia? Apa iya lo sebenenernya naksir sama Kara?'

"Eh, elo ngapain?" tanyaku.

"Gue nyariin lo, Kuda!" erang Naren.

"Ngapain lo nyariin gue?" aku menaikan alisku. "Nggak minta ditraktirin mie ayam kan?"

Naren berdiri disampingku. Ia menepuk pundaku keras. "Mau ngasih selamat lah! Selamat ya, Kuda sebagai lulusan terbaik yang pertama di sekolah ini. Lalu lo dapet di ITB jalur prestasi untuk masuk perguruan tinggi. Guru-guru sampai nggak percaya lo jadi lulusan terbaik, bahkan lo dulu menang di OSN dan sekarang Lulus Perguruan tinggi. IQ 140 lo itu emang murni bukan sogokan walau lo itu sering tidur di kelas."

"Sialan!" umpatku. "Jadi lo pikir dulu gue test IQ itu nyogok pakai uang? Lo kadang ngadi-ngadi aja, Ren!"

Naren tertawa keras. "Ya. Sempet mikir gitu si, tapi setelah gue kenal sama lo gue akuin lo emang pintar. Apalagi waktu lo menang OSN dulu. OSN Fiska men, gue aja enek banget sama Fisika. Selain itu kalau masalah debat, bahkan orang-orang udah takut duluan kalau lo udah mulai mau nanya. Tapi, kayanya cuman Kara doang ga ada takutnya sama lo malah diajakin debat terus lo sama dia."

VoicelessWhere stories live. Discover now