Takdir dan Pilihan

1 0 0
                                    

Hari ini aku mampir ke tempat kopi favoritku di jalan Amiri. Tempat ini spesial bagiku, karena disinilah aku pertama kali merasakan lembut dan hangatnya bibir wanita. Kupandangi lagi tembok berwarna abu-abu itu, mencoba untuk mengingat rasa dan sensasi yang kurasakan waktu itu. Namanya Rara. Perempuan kedua yang memberiku pelajaran tentang cinta.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"Aku cinta kamu Bar," bisiknya sambil bersandar di pundakku, aku masih kurang mengerti makna katanya waktu itu. Aku hanya mengangguk dan menjawab "Kayaknya, aku juga Ra,"

Diangkatnya kepalanya dari pundakku, diubah posisi kakinya menjadi menyilang. Matanya membelak seolah marah dan tidak terima dengan perkataanku.

"Kayaknya? Kamu anggap aku sebatas pilihan dari kemungkinan?" Tatapannya tak kunjung reda seolah berusaha merajamku dengan ribuan batu keras yang biasa dipakai di tempat konstruksiku itu.

"Bukan gitu Ra," belaku yang masih meraba-raba kata apa yang harus kuucapkan berikutnya. "kamu bukan sekedar satu opsi dari banyak kemungkinan, kamu satu-satunya yang aku pilih dan satu-satunya yang memilihku juga, ini takdir."

"Bukan Sambara, ini bukan takdir, semua itu pilihan dan kamu memilih untuk mencintaiku dengan 'kayaknya' Bar." Wajahnya yang semula marah, berubah menjadi kelabu dan sedih. Bola matanya yang tajam menatapku, membesar dan pandangannya tak tentu, seperti mencari objek lain untuk menyandarkan pandangan.

Aku kehabisan kata dan tak tahu apa yang harus kubela. Kuulang-ulang perkataannya di dalam pikiranku dan memang benar apa katanya. Aku membuat Rara menjadi suatu opsi. Kata 'kayaknya' bukan kata netral yang tidak punya makna. 'Kayaknya' berisi ketidakpastian dan abu-abu, tidak jelas, tidak konkrit dan multi tafsir. Tanpa aku sadari perasaanku terhadap Rara tidak bulat dan tanpa determinasi.

Melihatku membisu dan tidak bergerak, Rara berdiri dan duduk di seberangku. Melihatku dengan pandangan tak tentu, mencari kepastian dibalik banyaknya kata 'kayaknya' yang kugunakan selama hubungan ini.

"Bara, kayaknya, aku dan kamu, bukan pilihan yang tepat untuk satu sama lain." Kemudian ia beranjak dari kursinya, dikecupnya bibirku selama dua detik. Kemudian ia berbalik dan keluar dari kafe ini, tanpa melihat ke belakang sekalipun.

Kucoba untuk mencerna semua yang terjadi selama 5 menit kebelakang ini. Kata-kata yang kuucapkan, kata-kata yang Rara ucapkan, serta semua gerak-gerik dan tindakan yang kita berdua lalukan. Satu jam aku duduk terdiam di kafe itu, tak mengerti apa yang baru saja terjadi. Mungkin ini yang dirasakan teman-teman di tempat konstruksiku ketika tertimpa batu yang jatuh. Yang terjadi berikutnya entah gegar otak, luka atau bahkan kematian. Yang jelas rasa dan ragaku sudah tidak mampu untuk memahami.

Satu trik yang bapak ajarkan kepadaku ketika menghadapi masalah, kalau sudah satu jam berusaha memecahkan masalah dan belum ada kemajuan, tinggalkan dan pikirkan lain hari. Aku bergegas mengambil motorku di parkiran, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Otakku sudah kosong dan tujuan dalam hidupku di saat itu hanya untuk sampai rumah dan berjumpa dengan kasurku yang agak keras itu. 

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 03, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Takdir dan PilihanWhere stories live. Discover now