i. i saw your face

426 40 4
                                    

Lonceng pintu kafe berdenting saat seorang perempuan dengan rambut sepunggung yang dibiarkan tergerai bebas itu masuk ke dalam kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lonceng pintu kafe berdenting saat seorang perempuan dengan rambut sepunggung yang dibiarkan tergerai bebas itu masuk ke dalam kafe. Saat mata belonya menyusuri setiap sudut kafe tersebut untuk mencari keberadaan seseorang, tanpa sengaja dia bertembung dengan sepasang mata berwarna cokelat gelap yang sudah sangat familiar untuknya.

Si pemilik iris gelap itu lantas berdiri, seolah menyambutnya. Membuat dada si gadis disergap perasaan hangat sekaligus lega.

"Amara?"

Gadis itu mengerjap beberapa kali untuk menetralisir keterkejutannya sebelum akhirnya dia mengembangkan senyum dan langsung menghampiri si pemilik iris cokelat gelap itu.

"Hai, Amara," sapa orang itu sambil mengulurkan tangan kanannya. "Beneran Diana Amara, 'kan?"

Gadis yang disebut nama lengkapnya itu langsung menyambut uluran tangan tersebut. Amara tidak bisa menahan rasa senang gang meluap-luap saat dia melihat lelaki itu. "Halo, Arga. Nice to finally meet you!"

"Great to finally see you too. Nggak nyangka akhirnya kita ketemu juga, ya! Ayo duduk dulu."

Arga Prima Mahardika adalah pemuda yang Amara kenal lewat sebuah aplikasi kencan daring bernama Humble. Setelah hampir tiga bulan berkenalan dan hanya berinteraksi secara daring, akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu. Tepatnya hari ini dan Arga adalah satu-satunya orang yang ia temui dari aplikasi tersebut.

Amara mengangguk. "Kamu udah lama sampai?" tanyanya setelah berhasil mengusir gugup yang menggelayuti tenggorokannya.

"Nggak. Aku juga baru sampai. Kurang lebih lima menit yang lalu," jawab Arga lugas. Tampak sangat tenang. Sama seperti yang selalu Amara lihat lewat layar kaca.

Amara terkekeh. Berusaha menyamarkan rona merah yang mengisengi kedua pipinya. "Padahal kita janjiannya setengah jam lagi."

"Ternyata sama-sama extra miles, ya." Arga ikut tergelak ringan. "Eh, ayo pesan dulu." Dia kemudian menyerahkan buku menu pada Amara.

Setelah melihat-lihat buku menu, Amara akhirnya memutuskan untuk memesan Iced Maple Latte dan French Fries. Sementara Arga memesan Iced Taro Milk Tea dan Onion Ring. Kafe dengan design unik, klasik dan homey itu memiliki sistem di mana pelangganlah yang harus menghampiri meja kasir untuk membuat pesanan dan pesanan harus langsung dibayarkan pada saat itu juga. Pesanan yang sudah siap pun harus diambil sendiri oleh pelanggan di meja penyajian setelah nomor meja mereka dipanggil.

"Are you okay with latte? Latte bukannya kopi?" tanya Arga begitu mereka kembali ke tempat mereka.

"Setahuku sih bukan..."

"Are you sure?" Pemuda itu kemudian kembali berdiri. "Oh! Kamu tunggu bentar ya, aku pastiin dulu."

Arga beranjak ke meja kasir sebelum sempat dicegah. Ya, Amara memang tidak bisa mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung kopi di dalamnya. Bukan karena alergi, tetapi dia memang tidak kuat dengan reaksi kafein seperti jantung berdebar kencang yang disertai dengan mual, dan sakit kepala berlebih. Dan Arga tahu itu karena pemuda itu juga sama seperti Amara. Dia hanya bisa mengonsumsi kopi di saat dia benar-benar sedang harus bergadang mengerjakan sesuatu.

Hi Hello, Humble!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang