Bab 16 | Aku Tidak Mau, Ma

19 1 0
                                    

Pagi, saat matahari telah tinggi, Shofia menunggu putrinya untuk sarapan bersama, penasaran dengan apa yang terjadi di kamar yang masih tertutup itu. Thomas bahkan berharap gadis itu telah duduk entah di mana menikmati sarapannya. Setelah hampir lima belas menit menunggu dan kedua remaja itu belum menampakkan diri, lelaki itu sudah tidak sabaran.

"Sayang, perlahan saja, ya," saran Shofia melihat suaminya yang merasa geram atau mengkhawatirkan putrinya yang masih tidur.

Tok tok!

Beberapa ketukan dan meski pelan terdengar kasak kusuk di dalam. Bila tidak memikirkan pandangan orang-orang di sekitar, Thomas sudah mendobrak pintu itu.

"Wait," sahut suara sengau Sam.

"Apa yang terjadi, mengapa kalian belum bangun?" seru Thomas tidak sabaran.

Sam melihat gadis itu tidur menyamping dan membelakangi pintu, berinisiatif menutup agar tidak mengganggu Calendre. Rasanya Thomas sudah ingin menghajar pemuda itu bila Shofia tidak menarik tubuhnya dan meminta dia mendengarkan dulu.

"Semalam putrimu mimpi buruk dan terus saja gelisah. Calendre hanya bisa nyenyak terlelap saat aku memeluknya, kami tidak melakukan apa-apa jika itu yang Anda pikirkan. Aku hanya membiarkan dia tidur, sesekali terbangun saat dia gelisah dan mengumpat."

Lelaki tampan itu mengusap wajahnya dengan frustasi saat mendengar sendiri malam yang dilalui gadisnya. Dia membiarkan Samuel kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidur atau membersihkan diri, asal keluar dari sana. Sam mengambil baju yang semalam dibuka, karena merasa gerah saat merebahkan diri di sofa. Sementara itu, Thomas menunggu dia pergi agar dapat memeriksa sendiri keadaan putrinya.

Samuel bukan tidak mengetahui maksud Thomas mengusirnya, tetapi dia telah memperhitungkan semua saat semalam mencumbui gadis itu. Dia berlagak tidak bersalah, berpamitan pada Shofia dan berpesan agar memanggilnya bila Calendre telah bangun.

"Sayang, coba lihatlah. Apa ada bekas jejak yang ditinggalkan Samuel? Jika ada sedikit saja, aku akan menghajarnya," suara Thomas pelan, terdengar seolah menahan amarah.

"Honey, Calendre. Ini sudah siang, apa kamu begadang semalaman?" ucap Shofia sambil berpura-pura tertawa, seolah tidak ada yang salah.

"Apa ada jadwal pemotretan, Ma? Aku sudah katakan pada Patrick kemarin, untuk mencabut semua kontrak bila dia memaksa menginginkan Sam untuk menjadi modelnya," ucap gadis itu lebih terdengar seperti gerutuan.

Rupanya gadis itu tidak menyadari bahwa seorang lelaki Delaney berada di kamarnya dan sedang menahan diri untuk tidak marah. Cale mencoba bangun, dan terlihatlah leher jenjangnya yang mulus tanpa ada bekas atau tanda apa pun. Thomas menarik napas lega, seolah sejak tadi penasaran dan berharap benar tidak terjadi apa pun.

Sementara itu, Samuel yang mengingat kejadian semalam kembali bergairah. Betapa lembut kulit Calendre saat bersentuhan, Sam merasa seolah bocah remaja yang baru merasakan jatuh cinta. Bukan berarti dia tidak pernah jatuh cinta, tapi berada di dekat Calendre mambangkitkan apa yang belum pernah dirasakannya selama ini.

"Apa ini, astaga. Benar-benar memalukan," umpat Sam melihat perubahan pada tubuhnya hanya dengan mengingat gadis rapuh itu.

Apa Cale sadar dengan yang sudah kulakukan semalam, mengapa seolah-olah dia menikmatinya juga, batin Sam.

Sam tersenyum diam-diam mengingat kedekatan mereka yang dihentikan sepihak, karena tidak ingin trauma Calendre datang. Sebelum menjadi lebih tidak terkendali, Sam menyembunyikan wajah yang memerah itu di dadanya.

Apa? Benar, wajah Cale merona semalam. Lalu, apakah dia menyadari siapa yang mencumbu dan malah menikmatinya, pikir Samuel, lalu mengerang, menuntaskan apa yang sejak semalam ditahannya.

Beda Sam, lain lagi pemikiran Thomas yang sekilas melihat penampilan Sam saat membuka pintu. Bertelanjang dada dengan kondisi seakan menekan gairahnya, walau berlagak seolah sedang tertidur pulas. Bisa saja Sam sempat mencumbui melihat apa yang dikenakan putrinya.

Piyama tali spagety itu tidak dapat menutupi tubuh ranumnya, lalu, apa Sam tidak sempat berpikir untuk melakukan sesuatu, pikiran Thomas semakin mengembara membuatnya menggeletukan gigi geram.

"Apa kamu tidak ingin sarapan?" tanya Thomas, karena Cale seolah tidak menyadari keberadaan dirinya.

Gadis itu menoleh dengan matanya yang masih separuh terpejam lalu menggeleng. Beberapa kali menguap hingga memutuskan kembali berbaring karena rasa kantuk yang tak dapat ditahan. Shofia tertawa melihat betapa sulit gadis itu menahan diri agar tidak kembali tidur, tetapi kantuk telah mengalahkannya.

"Tolong pesankan kami pasta seperti semalam, Pa. Dengan Caffe Mocha yang kental dengan es batu terpisah, juga Ice Americano untuk Sam. Kemana perginya bocah itu," gerutu Cale, tak lama setelah itu terdengar dengkurnya membuat Thomas terkekeh.

"Apa yang harus kukatakan jika Patrick menelepon, Honey?" tanya Shofia menggoyang lembut lengan Calendre.

"Aku tidak mau, Ma. Dia menginginkan Sam. Bila dia menginginkanku kembali bekerja untuknya, pastikan untuk menaikkan nilai kontrakku tiga puluh persen, atau dia akan kehilangan semuanya. Aku akan mengambil alih semua kontrak ekslusive-nya."

Tiba-tiba saja Calendre terbahak setelah mendengus kesal mengingat bagaimana wajah Patrick terlihat.

Dasar serakah. Dia menginginkan Sam tapi mau tetap mempertahankanku, batin Cale.

Shofia paham dengan strategi tarik ulur putrinya, dan jujur dia heran dari mana gadisnya mempelajari itu. Menatap wajah tampan suaminya yang diam-diam menyembunyikan senyuman, perempuan itu tahu, darah Delaney yang bekerja.

"Ada apa kamu melihatku begitu, Honey? Haruskah kita kembali ke kamar dan melanjutkan kisah semalam?" goda Thomas, membuat wajah putih istrinya merona begitu cantik.

"Apa kamu sudah memesan sarapan untuk Putrimu? Ada apa dengan kepalamu, mengapa kita harus kembali ke kamar?" tanya Shofia berpura-pura tidak paham.

"Oh, ayolah_,"

"Apa Cale belum bangun juga? Sebaiknya Anda pergi sarapan, Tuan Delaney. Aku akan menjaga Gadis Nakal ini, dan memaksanya makan nanti," canda Sam.

Setelah berbasa-basi sebentar, Thomas dan Shofia meninggalkan dua anak muda itu untuk mencari sarapan. Sam kembali menutup pintu karena kamar mereka memakai pendingin ruangan. Memastikan orang tua gadis itu sudah pergi setelah mendengar suara mobilnya menjauh, Sam kembali berbaring dan masuk ke dalam selimut. Menyentuh lengan kurus Cale, dan membelai dengan tangannya yang sudah gemetaran.

"Ya Tuhan, apa yang sudah kamu lakukan padaku, Gadis Kecil? Aku tidak pernah merasakan ini pada perempuan lain seperti aku menginginkanmu," bisik Sam tepat di telinga Calendre.

Gadis itu menggelinjang saat napas Sam yang memburu, terasa meniup daun telinganya yang sensitif. Tubuh yang masih tersembunyi di balik selimut tebal itu menegang, bahkan tangan Cale terlihat mengepal. Sam bingung harus melakukan apa, di saat dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk membantu Calendre.

"Aku akan membunuhmu kalau berani menyentuhku, Steven. Kali ini aku tidak akan diam, aku bukan lagi gadis kecil yang lugu itu."

Samuel terkejut mendengar nama seseorang yang dikenalnya disebut, Steven Delaney, apakah mereka orang yang sama? Naluri liar Sam bergolak mengetahui penyebab mengapa gadis secantik Calendre mendapatkan trauma begitu menakutkan.

"Sstt, ini Sam, Cale, Samuel. Aku akan membantu menghapus semua kenangan buruk milikmu."

Seolah mengenali suara lembut Samuel, yang entah sejak kapan menjadi candu dan membuatnya tenang, perlahan Calendre mendekat. Bersembunyi pada ceruk leher Sam, hingga membuat lelaki itu menggeram pelan. Calendre tidak tahu apa yang dirasakan Sam saat hidung mancungnya seolah membelai leher yang penuh dengan saraf sensitif itu.

"Calendre, hentikan atau aku tidak akan berhenti," ancam Samuel, berpikir gadis itu sengaja menggodanya. Lalu, dengkuran halus menyadarkan Samuel bahwa masih ada beberapa kesempatan untuk mengancam dan mewujudkan imajinasi liarnya.

Happy reading, jangan lupa tinggalkan vote dan komen, ya.

Joy Calendre Delaney (Re Publish | Open Pre Order)Where stories live. Discover now