Raka langsung duduk di sebelahku, sedangkan Riana mendapat tempat duduk yang paling ujung di samping Adifa, si ketua kelas.

"Kelihatannya sudah sembuh." Ujarnya sambil meletakkan telapak tangan di keningku. Aku menurunkan tangannya melihat tatapan tidak suka yang perlihatkan Riana. Tentu saja gadis itu tidak suka melihat pacarnya yang begitu perhatian kapada sahabatnya.

Aku mendengus melihat Riana yang masih saja memperhatikan gerak gerik Raka di sebelahku.

"Aku nggak apa-apa kok, cuma kelelahan, nggak demam. Udah turunin tangannya. Liat tuh muka pacar kamu udah kayak mak-mak mau lahiran, nggak enak dilihat."Aku berbisik di telinga Raka agar tidak ada yang mendengar ucapanku.

"Uppsss...aku lupa kalau tadi aku bawa nyonya kecilku ke sini." Raka tertawa, lalu menarik tangannya dari kepalaku. Riana masih cemberut karena tidak ada yang mengajaknya bicara, sedangkan pacarnya masih sibuk memperhatikan sahabatnya yang katanya sedang sakit tapi menurutnya tidak terlihat sakit. Tidak ada yang menyadari kehadirannya  di rumah ini.

Aku merasa sedikit lega, setidaknya aku tidak harus melihat adegan mesra mereka di sini.

Disaat kami sibuk mengobrol, tiba-tiba Riana berdiri dan langsung berjalan ke luar dengan kaki yang dihentak-hentakkan. Kami saling melirik satu sama lain, bertanya tanpa suara mengenai apa yang sedang terjadi. Hanya Raka yang tidak menyadari kejadian ini karena terlalu asik berbicara dengan mama. Aku menyenggol tangannya.

"Pacar kamu tuh, ngambek kayaknya."Aku menunjuk pintu keluar dengan daguku.

Raka menatapku bingung, lalu tersadar dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Dia berlari keluar, menyusul Riana. Fatir tertawa mengejek. Dia memang tidak suka pada Riana, menurutnya gadis itu memiliki bakat nenek sihir menyebalkan dan aku juga merasakan hal yang sama. Bukan karena dia pacarnya Raka, tapi karena dia memang menyebalkan, manja, sok cantik dan aku tidak suka melihatnya. Yang terakhir murni karena dia adalah pacar dari orang yang aku suka.

  Beberapa saat kemudian Raka kembali untuk mengambil tas Riana yang tertinggal di atas kursi yang ia tempati.

"Eh, gue balik duluan ya. Si nyonya ngambek. Minta pulang dia. Nggak apa-apa kan?" Raka pamit.

"Lo sih ngumpul sama temen-temen bawa majikan. Mana betah dia ngumpul sama rakyat jelata. Lain kali nggak usah bawa dia kalau ngumpul sama kita." Ujar Fatir sarkatik.

"Iye tukang kebun." Raka mencibir.

"Udah sana, nanti majikan lo ngorek-ngorek sampah lagi, saking marahnya."

"Banyak bacot lo." Raka berbalik ke arahku.
"Cinta, nanti bilangin sama tante kalau aku balik. Kamu jangan lama-lama liburnya, kan aku jadi kangen." Raka mengedipkan sebelah matanya kepadaku. Sikapnya yang seperti ini yang membuatku jadi salah paham. Bersikap seolah-olah menyukaiku, tapi kenyataanya lain.

*****

Hari sudah menunjukkan pukul 11 malam. Teman-temanku sudah pulang lima belas menit yang lalu, meninggalkan sisa-sisa makanan yang mereka bawa, yang katanya dibawa untukku. Tapi kenyataannya mereka yang menghabiskan semuanya. Tidak salah jika mereka disebut pasukan pemangsa.

Aku membantu mama membersihkan bungkus-bungkus makanan yang berserakan. Saat akan membuang sampah ditempat pembuangan sampah, ada sebuah motor yang berhenti tepat dihadapanku. Itu motor milik Raka. Dia membuka helm yang melekat di kepalanya.

"Hei, kenapa balik lagi, ada yang ketinggalan?"

Dia menggeleng.

"Cuma mau minta maaf aja."

"Untuk?"

"Soal Riana tadi, maaf karena tadi dia langsung pergi aja, nggak pamit dulu. Maklum lah kelakuannya masih kayak anak kecil. Suka ngambekan."

"Oh...itu, nggak masalah kok. Aku sih biasa aja."

"Beneran nggak apa-apa?"

Aku mengangguk.

"Iya, nggak apa-apa. Kamu balik lagi cuma mau bilang itu?"

"Iya, aku ngerasa nggak enak sama kamu."

"Kan kamu udah minta maaf, jadi sekarang pulang gih.. udah malam."

"Ngusir nih...ya udah deh aku pulang dulu." Dia turun dari motornya dan mendekat ke arahku. Tanpa aku duga Raka memelukku. Membuatku tersentak seketika. Ini tidak benar. Bagaimanapun kami hanya bersahabat dan dia sudah punya pacar saat ini dan aku tidak mau perasaanku mempermainkan diriku sendiri.

  Aku mendorong pelan bahunya untuk melepas pelukannya di tubuhku. Dia menatapku dengan pandangan bertanya.

"Raka, bisa ngga kamu nggak kayak gini lagi. Kamu udah punya pacar, aku nggak mau pacar kamu salah paham sama aku. Jadi, sebaiknya kita sedikit jaga jarak.

"Jaga jarak gimana? Kita kan memang udah kayak gini dari dulu." Dia memandangku tidak percaya.

"Kamu nggak ngerti, kamu...aku...akhh !! Udahlah kamu juga nggak bakalan ngerti. Kamu pulang aja sana." Aku berlari meninggalkan Raka yang masih berdiri di samping motornya.

Dia nggak mungkin ngerti. Ini bukan semata-mata mengenai perasaan Riana, tapi juga perasaanku. Bagaimana bisa aku menghilangkan rasa sukaku pada Raka kalau dia selalu berada di dekatku. Aku takut jika nanti perasaanku akan semakin dalam. Aku takut jika nantinya Raka menyadari perasaanku padanya dan pada akhirnya merusak persahabatan kami selama ini.

Aku berlari menuju kamarku tanpa menghiraukan mama yang menatapku heran.

  *+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*+*

Wohoooo !!!
Masih adakah yang mau baca cerita ini?
Aku harap masih ada ya...
Makasi untuk yang udah ngasih vote di part sebelumnya. Aku nggak akan minta kalian yang baca untuk ngasih bintang kalian yang indah itu di ceritaku. Cukup kesediaannya saja. Kalau kalian suka, silahkan. Kalau nggak suka juga nggak apa-apa. Aku juga kayak gitu kalau baca cerita author  yang lain. Aku suka, aku kasih bintang. Kalau nggak ya dilewat. Menurutku vote disebuah cerita hanya bonus. Tanda ceritanya bagus dan banyak yang nungguin. Jadi, silahkan tentukan pilihan kalian sendiri. Makasiii untuk segelintir readers yang masih setia nungguin lanjutan cerita ini ❤

Salam sayang,

Queenza95

 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 08, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

When Cinta Meet LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang