23. Unactivate Anxiety

ابدأ من البداية
                                    

"Gak mungkin! Datar gitu, kok."

"Dan juga ... pak Tamam," lanjut Kadita sambil memerhatikan perubahan ekspresi Arya yang melunak. "Tapi, kalau Bapak—"

"Ya, sudah," potong Arya. Kemudian pria itu memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku jas dan mengeluarkan sebuah USB lain. "Kerjakan juga yang ini!"

Kadita tertegun. "Ta-tapi, Pak sa—"

"Kerjakan! Kalo kamu bisa merevisi iklan seperti tadi, aku kasih pekerjaan yang hampir sama bukan masalah, kan?"

Belum sempat Kadita mengeluarkan argumennya, Arya sudah menyilangkan kedua tangan di dada dengan tatapan tajam. Dia mengisyaratkan kalau titahnya tidak bisa dibantah. "Ba-baik, Pak."

Arya mengambil USB yang sebelumnya diberikan oleh Kadita dan memasukkannya ke saku jas. Sementara itu, USB yang satu lagi sudah berada di tangan Kadita. "Aku tunggu hasilnya nanti malam."

Kadita terkejut. "Ma-malam ini?"

Arya mengangkat kedua alisnya singkat dua kali.

***

Cahaya mentari sudah berganti dengan rembulan kala Kadita masih berkutat dengan layar komputer di hadapannya. Arya meminta wanita itu mengulangi pekerjaan yang sama sebanyak tiga kali. Padahal Langit sudah menyetujui hasilnya saat Kadita menyerahkan untuk kali kedua. Namun, bagi Arya belum cukup baik.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Kadita beranjak dari tempat duduknya kemudian bergegas menuju ruangan Arya di lantai 9. Saat hendak menuju tangga darurat, Kadita dikejutkan dengan kehadiran Arjuna.

"Pak Tamam!"

Arjuna mengembuskan napas lega. "Kamu bikin aku kaget, Kadita!"

"Ma-af, Pak."

"Belum pulang? Mau kemana?"

"Ke ruangan pak Arya, Pak. Mau memberikan pekerjaan saya."

Arjuna mengerutkan dahi. "Bukannya tadi udah selesai?"

Kadita tersenyum sekilas. "Pak Arya minta revisi lagi."

"Kamu itu bisa nggak nolak permintaan dia yang mengada-ngada?"

"Ya ... ta-tapi, dia atasan kita, kan, Pak."

Arjuna mengembuskan napas keras. "Terserah kamu! Malam." Arjuna meninggalkan Kadita menuju lift.

Wanita itu meneruskan langkahnya menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai 9. Suasana kantor saat malam hari memang berbeda, di mana hanya sedikit lampu yang dinyalakan. Kondisi ini tidak membuat gentar Kadita yang terbiasa menyendiri dalam gelap. Namun, jika sudah berhubungan dengan kejadian tak mengenakan di masa lalu, sudah pasti kecemasan langsung menyergapnya.

Lorong yang menuju ruangan Arya tampak remang-remang akibat tidak semua lampu di lantai itu dinyalakan. Kadita melangkah dengan percaya diri meski dia merasa ada seseorang yang mengikuti dari belakang. Saat hampir tiba ditujuan, wanita itu tiba-tiba berhenti. Dia membalikkan badan untuk mencari tahu siapa yang mengekorinya. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana.

Kadita meneruskan langkah kakinya hingga seberkas cahaya terang tampak di hadapannya. Saat berada di depan pintu ruangan Arya, wanita itu sempat ragu untuk langsung masuk ke sana. Norma kesopanan melarang dia melakukannya, tetapi sedikit celah pintu yang terbuka seperti memberi peluang baginya untuk masuk begitu saja. Kadita pun memilih opsi kedua. Akan tetapi, dia segera menyesali pilihannya karena pemandangan yang tak biasa terpampang di sana.

Seorang wanita berambut tembaga sebahu sedang berada di depan Arya, menutupi hampir seluruh tubuh pria itu. Kedua tangannya tampak dikalungkan pada leher atasan Kadita itu. Kemudian sang wanita mengikik saat bagian wajah Arya menyentuh lehernya. Dari jarak pandang Kadita, dia bisa melihat senyuman lebar yang tak pernah ditunjukkan CEO Nawang Wulan itu.

Sekonyong-konyong lengan Kadita ditarik oleh seseorang, menjauh dari depan pintu ruangan Arya. Susah payah dia ingin melepaskan diri, tetapi tidak bisa. Cengkraman yang dirasa sangat kuat. Saat mencapai area lift, baru lah Kadita tahu siapa yang menarik paksa dirinya dari pemandangan tak menyenangkan itu.

"Bapak kenapa masih di sini? Bukannya tadi—" Belum sempat Kadita menyelesaikan kalimatnya, Arjuna sudah menarik badannya untuk bersembunyi di salah satu sudut. Kadita terkurung tubuh pria bermata biru yang tampak menjulang tinggi baginya. "Pak! Lepaskan sa—"

Arjuna berdesis sambil meletakkan jari telunjuk di bibirnya.

Tidak berapa lama terdengar suara Arya dan sang wanita menuju lift. Beberapa kali sang wanita mengikik genit. Rasa penasaran tiba-tiba saja menghinggapi Kadita hingga dia mencoba melihat sosok Arya dari balik badan Arjuna.

Secara tak terduga, Arya melayangkan pandangan ke tempat Arjuna dan Kadita bersembunyi. Kadita nyaris memekik keras jika saja Arjuna tidak menutup mulutnya dengan tangannya yang lebar. Arya yang curiga, berjalan perlahan menuju tempat mereka berlindung.

"Mas, liftnya udah ada, nih."

Arya mengurungkan niatnya dan berbalik arah menuju lift diiringi oleh wanita yang sedang bersamanya.

Sepeninggalan Arya, Kadita menatap wajah Arjuna yang sedang mencuri dengar jikalau Arya kembali ke lantai 9. Saat itu Kadita mendengar suara yang asing di telinganya. Wanita itu berusaha memusatkan kemampuan indera pendengarannya yang cenderung salah mengidentifikasi suara orang.

Namun, dia tidak mendengar suara manusia melainkan irama jantung yang berdetak cepat. Kadita sadar itu bukan berasal dari dalam dirinya. Saat pandangannya bersirobok dengan Arjuna, wanita itu tahu dari mana irama yang didengar berasal.

 Saat pandangannya bersirobok dengan Arjuna, wanita itu tahu dari mana irama yang didengar berasal

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.
COPY PASTE [Terbit, 2023]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن