8.2

16.9K 1.7K 38
                                    

Keheningan menyelimuti ruangan. Suasana tegang terasa hingga ke tulang-tulang. Prasada tampak angkuh dan tak tersentuh di kursi kebesarannya. Rengkah dan Lengkara berdiri bersisian di samping Prasada. Empat pria dan seorang wanita paruh baya duduk terbagi di dua sofa dengan putra-putri mereka berdiri di belakangnya. Kekhawatiran tergambar dalam sorot mata mereka.

“Saya sudah melihat video Bida dan Rengkah. Saya rasa, permasalahan ini tidak harus dibawa hingga melibatkan kerja sama di antara kita. Apa yang terjadi di antara mereka hanyalah permainan di antara anak-anak saja.” Wanita paruh baya bersanggul yang merupakan orang tua Bida duduk menyilangkan kaki menatap Prasada.

Pagi ini secara bergantian mereka mendapatkan telepon peringatan dari sekretaris Prasada dan juga Noa tanpa tahu apa penyebabnya. Mereka dipaksa menerka apa yang membuat kedua grup besar itu mengutus tangan kanannya dengan gelagat penuh amarah. Jelas mereka tahu bahwa ini bukanlah sekadar permasalahan kerja biasa, tetapi tidak tahu spesifiknya apa hingga diketahuilah perihal video pembulian Rengkah di sosial media.

“Bida memang melakukan kesalahan, tapi dia tidak melukai Rengkah.”

“Oh, ya?” Prasada melihat mereka bergantian dengan ekspresi sulit dijelaskan.

“Tuan Prasada dan Lengkara juga tidak bisa melemparkan kesalahan sepenuhnya pada Bida. Tidak mungkin dia melakukan itu tanpa sebab, bukan? Kita tahu seproblematik apa Rengkah. Berapa kali dia telah membuat keributan dan mempermalukan Tuan sebagai kakek?”

“Cucuku tidak pernah mempermalukanku. Kau sebagai orang luar bagaimana bisa dengan mudah berasumsi begitu?” Menyatukan kedua tangan di atas meja, Prasada membungkam ibu Bida. “Berani sekali kau melabeli cucuku dengan sebutan problematik.”

Perkataan barusan dengan jelas menyatakan keberpihakan Prasada pada Rengkah. Selama ini mereka mengira pasangan kakek dan cucu itu berada dalam hubungan yang buruk mengingat betapa berjarak dan tak acuhnya keduanya. Namun, pembelaan Prasada telah mematahkan praduga di kepala.

“Anak-anak kami tidak melakukan apa pun pada Rengkah. Dalam video itu hanya ada Bida. Tuan, mengapa kami juga terlibat dan mendapat ancaman pemutusan kerja sama dari Grup Narapraja?” Merasa tidak terima, orang tua lain ikut bersuara.

“Tidak melakukan apa pun pada Rengkah? Apa kalian tahu apa yang terjadi di lelang amal kemarin malam?”

“Lelang amal?” Gugup, pria berkacamata dengan sedikit uban di tepi kepala itu memandang sang anak dan memelotot. Menunduk, gadis tersebut menggelengkan lemah. Mengembuskan napas panjang, ia mencoba mengendalikan emosi di depan Prasada dan tetap tersenyum. “Tuan, saya pikir ini hanyalah lelucon anak muda. Sebagai orang tua kita juga pernah mengalaminya.”

Lengkara yang sejak tadi diam saja secara mengejutkan mengambil gelas air putih di meja Prasada dan menyiramkannya ke atas kepala gadis di samping Bida. Terang saja itu membuat tercengang seluruh orang di ruangan. Melihat itu orang tua si gadis bangkit dari sofa dan dengan nada tinggi berkata, “Apa maksudmu, Tuan Lengkara?”

“Hanya lelucon saja.”

“Lelucon katamu?”

“Bukankah Anda yang tadi mengatakannya demikian? Anggaplah yang terjadi hanya lelucon di antara anak-anak.” Dingin dan mendomasi. Suara Lengkara terdengar tenang dan tajam. Jika itu adalah pedang, maka lawan bicaranya sudah pasti habis terpotong-potong menjadi ratusan bagian. “Bukankah Anda sebagai orang tua juga pernah mengalaminya.”

Lengkara menyeringai menakutkan hingga membuat yang melihatnya merasa terancam. Sejujurnya, mereka pun tak pernah berurusan dengannya terutama yang berhubungan dengan pekerjaan. Ia memang masih muda, tetapi dengan pengalaman bisnis selama satu dekade hingga mengantarkan Grup Kala—warisan ibunya—sampai pada puncak kekuasaan telah menunjukkan seberapa besar kekuatan yang dipunya. Di antara pebisnis lain Lengkara yang paling kooperatif diajak kerja sama. Namun, sekali bertindak terhadap musuh ia menjadi kejam dan tak berperasaan.

Rengkah LengkaraWhere stories live. Discover now