Bab 1

20 3 1
                                    

Diana melangkahkan kaki menuju sekolahnya. Sekolah favorit dan salah satu yang terbaik di Jakarta dengan kurikulum internasional. Sebagai anak dari keluarga Gibran, sudah sewajarnya Diana menjadi salah satu siswi dari sekolah bergengsi.

Dari depan, semua siswa sudah disambut dengan gerbang tingggi dan megah bangunan modern yang kokoh. Disana juga terdapat parkiran luas dan bahkan ada landasan helikopter.

Keluarga Gibran seperti yang semua orang tahu merupakan salah satu investor di sekolah ini. Bahkan kepala sekolahnya, merupakan kakak sepupu Diana sendiri. Semua anggota keluarga Gibran merupakan orang paling sukses dan berpengaruh di Indonesia. 

Namun, segala kehebatan mereka terkadang membuat Diana merasa kecil.
Diana merasa hidupnya dibayang-banyangi oleh kesuksesan keluarga terutama kakak - kakaknya. Semua orang seakan berharap Diana adalah orang hebat seperti keluarganya. Tapi, nyatanya Diana adalah seorang remaja biasa yang sederhana.

Hari itu, ketika masuk kelas Diana langsung disambut oleh Silva, teman sebangkunya yang merupakan rangking 1 di sekolah itu. 

"Pagi Di, suram banget mukanya kenapa sih, masih pagi juga," sembur Silva. 

"Gapapa, cuma tidur gue gak nyenyak aja, semalem gue mimpi dikejar kecoa terbang," karang Diana. 

 "Apa hahaha, uh sayang, kasian banget temen gue," ucapnya memeluk Diana. 

"Eh tapi kan lo gak takut kecoa," ingat Silva lagi. 

Teman perempuan Diana itu sangat paham rekannya tidak takut serangga atau fobia hewan apapun, malah Diana dapat menangkap seranga dengan mudah. 

"Ya iya sih , tapi kan kalo dia terbang takut nemplok di muka gue, lo tau sendiri kecoa banyak kumanya." 

"Ah iya sih, tumben lu pinter," ledek Silva. 

"Ya walaupun gak se genius lo, gue juga gak bodoh kali," elak Diana yang disetujui Silva. 

Setelah percakapan itu jam pelajaran dimulai seperti biasa.

Diana mencoba berkonsentrasi dengan kelasnya, tetapi pikirannya terus mengulang perkataan teman sekolahnya yang bergosip saat Diana melewati koridor. Dia mendengarnya dengan tidak sengaja. 

Kadang mereka juga bisa secara terang-terangan menghina Diana, meskipun Diana tidak terlalu mengubrisnya. 

Justru Silva lah yang sering kali terbawa emosi dan tidak terima ketika sahabatnya menjadi bahan ejekan. 

Pagi itu geng di sekolahnya bergosip tentang Diana yang kalah hebat dari kakak perempuannya.

 "Diana kayaknya bukan anak keluarga Gibran deh, masa dia gak pintar kaya kakaknya Keyla," sebut salah satu siswi dengan rok yang terlalu pendek.

"Keyla sih genius, dan cantiknya apa lagi jangan dibandingin, kalah telak, dia sih buluk kalo dibandingin Key". 

Mendengar hal itu mau tidak mau Diana terbawa perasaan. 

"Arrgh," ucapnya tanpa sadar dan terdengar oleh guru bahasa nya. 

"Diana, kamu kenapa?, bisa tidak kamu menyimak pelajaran dari saya dengan baik?" tuntut Karin tegas. 

"Maaf Bu, saya sedikit pusing karena malam tidak bisa tidur dengan baik," Diana berusaha tidak panik. 

"Begitu, yasudah kamu ke UKS saja, Ben antar Diana ke UKS." 

Ben sang ketua kelas menurut dan berdiri untuk segera mengantar Diana ke UKS.

.......

Ketika mereka berasa di luar kelas,  Ben tiba-tiba saja mengatakan kalimat yang membuat perasaan Diana menjadi semakin kesal. 

"Enak ya jadi lo, lagi bikin masalah di kelas bukan dihukum malah disuruh istirahat ke UKS," kata Ben sinis. 

"Terserah lo deh, tapi nanti kalo lo udah dewasa dan itupun kalo lo bisa berpikir dewasa, yang lo pikirin sekarang itu gak semuanya bener," kata Diana tegas.

"Halah lo mana ngerti susahnya orang paspas-an kayak gue," elak Ben. 

"Gue mungkin gak tau karena gak ngalamin itu, lo juga gak tau susahnya jadi gue, jadi tutup mulut lo," pungkas Diana dingin. 

Saat Diana tersulut emosi, terlihat sekali aura dingin dan tegas dari dirinya. Ben juga merasakan hal tersebut. 

.......

Sesampainya di UKS Diana dengan tenang menyempatkan untuk mengucapkan terimakasih kepada Ben.

"Thanks, udah anter gue," hal itu cukup membuat Ben terkejut.

"Ahh oke, istirahat ya lo," jawab Ben.

Ben memang salah menilai Diana. Sepanjang jalan menuju kelasnya Ben tersadar, jika Diana sama sekali tidak pernah bersikap angkuh seperti anak orang kaya lain yang ada di kelasnya.

Justru kalau Ben ingat kembali, yang membuat dia iri dengan Diana bukan hanya karena keluarganya, tapi sikap dewasanya.

Kadang sebagai ketua kelas Ben merasa terintimidasi oleh Diana.

Meskipun secara akademis Ben memang lebih unggul, tapi untuk kecerdasan emosional sepertinya semua teman sekelasnya kalah jauh dari Diana.
......

Kembali ke UKS, Diana memutuskan untuk beristirahat setelah mendapat pemeriksaan dari petugas.

Semuanya cukup normal, tetapi tekanan darahnya cukup rendah.

Beberapa menit kemudia Diana mencoba untuk tidur.

Namun sialnya, dua orang siswi di balik tirai sebelah lagi-lagi bergosip tentang dirinya.

Diana sama sekali tidak mengerti, apa yang salah sebenarnya.

Seingatnya dia tidak pernah membuat masalah dan berusaha menjadi pusat perhatian.

"Eh lo tau gak, gue rasa Diana bukan anak kandung keluarga Gibran, masa sampe kelas 12 gini dia gak pernah bikin prestasi yang wah gitu, karate boleh lah ya, tapi cuma juara dua se-provinsi, ke nasional aja gak masuk."

Jujur, ingin sekali dia meninju wanita itu, tapi Diana tau itu tidak ada gunanya.

"Iya, mana kulitnya buluk gitu, gak kaya kak Key," Timpal siswi lainnya.

Hal itu juga membuat pertahanan dirinya roboh dan menangis saat itu juga.

Sampai beberapa saat setelah kedua siswi itu pergi pun Diana masih menangis dalam diam, dia benar-benar tidak sanggup kemudian menelpon Kakak tercintanya.

"Bang Raf," ucapnya dengan suara serak.

"Kenapa lo Di, lo nangis?" Rafael sudah hapal dengan suara bicara Diana yang tidak seperti biasanya.

"Di mau pulang, jemput ya bang."

"Yaudah abang kesitu sekarang."

"Di ada di UKS," kata Diana sebelum Rafael menutup telponnya.

........

See you in the next chapter...

Strong Woman Called D (Sedang Dalam Perbaikan)Where stories live. Discover now