Gayatri mengusap-usap bahu Kadita. "It's ok, Kadita. Tidak usah memikirkan siapa yang salah." Wanita yang mengenakan blouse berwarna oranye muda itu tersenyum. "Sekarang kita ke makam ibu Sinta aja, gimana?"

***

Kadita berjongkok sambil membisu cukup lama di depan pusara Sinta. Belakangan, dia menangis sesenggukkan. Berulang kali kata maaf terucap dari mulutnya. Dia merasa bersalah karena mengabaikan perkataan sang bunda. Jika saja saat itu dirinya menanggapi, mungkin saat ini Kadita tidak akan merasa sebatang kara.

Setelah dirasa cukup menumpahkan kesedihan, Kadita menghapus air mata yang masih tersisa di pipi. Dia bangkit berdiri, sambil berulang kali mengatur napas untuk menangkan diri. "Bun, aku pamit. Akan aku sampaikan wasiat ibu padanya."

Gayatri menatap Kadita penuh tanda tanya. Namun, dia memutuskan untuk tidak bertanya pada Kadita. Kecuali, wanita itu memang mau menceritakan pada dirinya.

Kadita membalikan badan, lalu berjalan mendekati Gayatri seraya menyunggingkan senyuman. "Ayo, Kak."

Keduanya memasuki mobil van milik Gayatri. Sepanjang perjalanan menuju Jakarta, Kadita lebih banyak membisu. Sementara kawan bicaranya memilih untuk tidak bertanya apapun pada Kadita. Meski rasa penasarannya memuncak.

Sekonyong-konyong, Gayatri teringat akan pembicaraannya dengan Cakra. "Kadita, ada yang mau aku sampaikan sama kamu."

Kadita mengalihkan pandangannya dari jendela mobil, pada Gayatri. "Apa, Kak?"

"Sebelumnya, aku minta maaf dan aku tegasin ini bukan salahmu. Ini sepenuhnya salahku dan aku mengakui kalo selama ini aku melanggar banyak batasan," jawab Gayatri panjang lebar. "Batasan di sini maksudnya, bias antara psikolog dan kliennya. Aku masuk terlalu dalam ke kehidupanmu dan ada orang lain yang menyadarinya.

"Kamu tahu senior yang sempet aku ceritakan? Cakra?"

Kadita mengangguk.

"Beliau menyadarinya. Setelah melihat perkembanganmu selama dua tahun terakhir, beliau memintaku buat gak menangani kasusmu lagi," Gayatri menatap Kadita dengan sedikit khawatir, "jadi, kasusmu akan ditangani langsung sama beliau. Gimana? Kamu gak apa-apa?"

Kadita menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Kakak pernah bilang, aku harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Apalagi, aku bukan anak-anak lagi. Benar, kan, Kak?"

Gayatri menyunggingkan senyuman. "Bener, dong."

"Sudah saatnya aku mencoba, Kak. Meski aku masih cemas, tapi ... aku akan berusaha," lanjut Kadita. "Aku akan memulainya dengan menerima pekerjaan di Nawang Wulan, Kak."

Gayatri membulatkan kedua matanya. "Kamu udah ngehubungi mereka?"

Kadita mengangguk. "Aku sudah memikirkan resiko yang mungkin akan aku hadapi. Meski kalau itu terjadi, aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi, setidaknya aku mencobanya."

"Aku seneng kamu ambil keputusan ini, Kadita. Aku selalu mendukung setiap keputusanmu. Selama, kamu udah memikirkan resiko dari tiap-tiap pilihanmu."

"Makasih, Kak," sahut Kadita sambil tersenyum. "Kira-kira kapan aku bertemu pak Cakra?"

"Nanti beliau bakal atur lagi jadwal sama kamu. Tapi, gak akan sesering kita, karena sesi terapimu udah mau selesai juga."

"Tapi, aku masih bisa menghubungi Kakak, kan?"

Gayatri mengangguk. "Tapi, bukan sebagai psikolog, ya!"

Kadita terkikik. "Iya, Kak."

"Ada lagi yang mau kamu ceritain?"

Kadita terdiam sesaat. Dia menyunggingkan senyuman, lalu berkata, "Tidak ada, Kak."

"Aku ijin merem dulu, ya. Nanti kalo udah mau nyampe, bangunin aja."

Setelah Gayatri tampak terlelap, Kadita membuka tas ranselnya. Dia mengeluarkan sebuah buku bersampul putih, berjudul Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto. Wanita itu membukanya dan menemukan selembar foto yang ditemukan beberapa jam lalu, kala merapikan barang-barang di kamar sang bunda.

Kadita menatap lekat dua orang yang tertawa sambil berpelukan. Bagi wanita itu, pria di foto sekilas mirip dengannya. Sementara sang anak kecil, kemungkinan berusia sekitar 8 tahun. Senyumannya mirip dengan sang bunda. Perlahan Kadita membalik dan membaca kembali tulisan yang ada di sana:

Anakmu sudah besar, Teh Sinta. Keberadaanku tetap tidak bisa menggantikanmu. Tolong, hubungi Kang Rama di Jakarta. Alamat rumah masih sama. Kami akan menerima kalian dengan tangan terbuka. Jakarta, 2006.

Meski belum tahu akan memulai dari mana dan bagaimana, jantung Kadita sudah berdebar cepat. "Aku akan menemukan mereka, Bun. Aku janji." 

" 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Adakah yang masih baca cerita ini?

COPY PASTE [Terbit, 2023]Where stories live. Discover now