Melihat Sesepuh yang paling disegani di Desa itu ikut turun tangan. Tanpa diperintah, para warga yang berunjuk rasa pun berangsur membubarkan diri dengan suka rela. Setelah memastikan bahwa keadaan telah kondusif, Helga menghela napasnya lega. Mengulas senyum manis lalu meraih jemari Eyang Fatah untuk kemudian dikecupnya kilas sebagai tanda penghormatan. "Aku kembali, Eyang." ucap Helga lembut tanpa memudarkan senyumnya.

Eyang Fatah ikut menyunggingkan senyum, seraya mengusap lembut puncak kepala Helga yang tampak lebih tinggi dari sebelumnya. "Bagaimana sekolahmu, Nduk?" celetuknya bertanya.

"Aku sangat bahagia di sana, Eyang. Di SHS aku mendapat begitu banyak teman yang memiliki kemampuan sepertiku. Mereka semua begitu menyayangi dan menjagaku." beber Helga dengan antusiasnya.

"Eyang senang melihat kamu seceria ini. Tetap terus menjadi Helga yang seperti Langit Cerah ini, ya?" ungkap Eyang Fatah yang disambut tawa kecil dari Helga.

"Eyang. Terima kasih, ya? Terima kasih karena Eyang telah membantu kita untuk membubarkan para warga yang berdemo tadi." sela Pak Wijaya mengakhiri temu-sapa manis Helga dan Eyang yang terasa hangat tadi.

Senyuman di wajah Eyang Fatah menyusut seraya merespon ucapan terima kasih yang didapatnya dengan anggukan kepala. Merasa kecanggungan mulai terlihat kala pupil mata Helga bertemu dengan retina mata Pak Wijaya, dengan cekatan, Rosmala pun bergegas meminta semua orang yang ada di terasnya untuk masuk ke dalam rumah.

Setelah membantu suaminya untuk beristirahat kembali di atas ranjang, Rosmala beringsut menyambut kepulangan Putri tunggalnya itu dengan pelukan hangat. "Ibu senang akhirnya kamu mau pulang ke rumah." ungkapnya sembari mengusap-usap punggung anak gadisnya itu yang justru terfokus meneliti jengkal demi jengkal luka mengoreng di sekujur tubuh ayahnya yang terbaring.

"Sudah berapa lama dia ..., seperti itu?"

Pertanyaan yang Helga lontarkan dengan  nada lirih nyaris berbisik itu, sontak merenggangkan dekapan hangat di tubuh Helga. Menyadari ada sesuatu yang harus diluruskan, Rosmala pun segera meralat ucapan putri sematawayangnya itu. "Maksudmu, Ayahmu, kan? Jangan panggil Ayahmu dengan sebutan 'dia' . Karena bagaimana pun, Beliau adalah Ayah biologismu, Nak."

Bukan lagi hal yang aneh jika sikap Helga pada Pak Wijaya begitu dingin. Pasalnya, sejak Pak Wijaya nekad meninggalkan Helga untuk melakukan pengobatan di RSJ, beliau-lah aktor utama yang begitu gigih mengatakan bahwa kemampuan supranatural yang Helga miliki merupakan sebuah penyakit  kejiwaan yang harus mendapatkan pengobatan secara medis.

Kebencian masih tercetak jelas di kedua bola mata indah gadis muda yang merupakan Kepala dari Pentagram Emas Manusia tersebut. Namun tak dapat dipungkiri bahwa di balik padatnya kebencian yang mengendap, terdapat pula secuil kekhawatiran yang terselip di dalamnya. Seolah enggan dinasihati oleh Sang Ibu, Helga memilih untuk melangkah mendekati tempat di mana Pak Wijaya merebahkan diri. Dengan gerakan pelan, Helga mengulurkan telapak tangan kanannya untuk mendeteksi aura aneh yang terpancar dari tubuh sakit Sang Ayah. Pergerakan tangan Helga berhenti mendadak, ketika netra remaja itu menemukan sebuah benda aneh tergeletak di atas kasur ; tepatnya di bawah telapak tangan kiri Pak Wijaya. Helga memungutnya dan mengamati dengan seksama benda yang ternyata merupakan sebuah sisik hewan tersebut. "Ini seperti sisik ikan." selorohnya, disambut kernyitan samar di dahi Rosmala.

"Kamu lihat sendiri 'kan? Penyakit Ayahmu ini aneh. Gimana bisa ada sisik ikan yang muncul dari tubuhnya?" celetuk Rosmala menunjukan bahwa apa yang ia katakan lewat sambungan telepon pada pihak SHS adalah benar adanya.

"Bukan dari tubuhnya. Tapi dari tubuh jin yang dimasukan ke dalam badan Beliau." ungkap Helga dengan gamblangnya. Membuat Pak Wijaya yang sedang menahan rasa letihnya itu jadi membelalakan mata. Bahkan Eyang Fatah yang sedang minum teh bersama Arnold di ruang tengah pun langsung bangkit berdiri kala mendengarnya.

Supranatural High School [ End ]Where stories live. Discover now