22. Kenangan Manis

Start from the beginning
                                    

Jangan tanyakan kameranya. Jev bahkan hampir menangis melihat kondisi benda itu. Namun ia urungkan karena malu dengan Ajeng yang berdiri dengan tatapan khawatir.

“Jev, lo gapapa? Ya Tuhan, kok bisa?” Jev meringis, jalanan yang saat ini mereka pijaki terdapat kerikil-kerikil kecil—yang apabila kena kulit akan terasa sakit. “Pelan-pelan.”

Ajeng mengulurkan tangannya, membantu sebisanya. Karena tubuhnya yang kecil tidak bisa dengan mudah membantu Jev berdiri. “Kita balik ke posko aja, ya. Kaki sama siku lo berdarah. Biar gue obatin nanti.”

“Gapapa, kita lanjutin aja. Cuma lecet-lecet dikit, kok,” ucap Jev yang kini mulai berjalan pelan dituntun oleh Ajeng.

Meskipun cuma lecet, tapi Jev tidak bisa berjalan normal. Kakinya terasa sakit. Apalagi ia jatuh dengan posisi yang tidak tepat. 

“Kamera lo…”

Jev menatap kamera di tangannya dengan nanar, “Rusak kayaknya. Semoga aja masih bisa dibenerin.”

Sebenarnya selain merasa sakit, Jev juga malu. Pasalnya ia jatuh dengan tidak elegan di depan Ajeng. Bagaimana kalau Ajeng ilfeel? Bagaimana kalau Ajeng ingin menertawakannya? Dan bagaimana-bagaimana itu masih terus berlarian di pikirannya hingga ia tiba di posko.

*****

“Udah?”

“Udah. Ini rumah terakhir yang kita cek.”

Untungnya pengecekan kali ini tidak banyak yang perlu diperbaiki. Warga desa ternyata sudah paham dengan penjelasan yang mereka berikan selama penyuluhan waktu itu. Meskipun ada salah satu atau dua yang salah, itu bukanlah masalah besar.

Sepanjang perjalanan keduanya kembali membisu. Jika tadi Renan dan Karin sibuk dengan sampah-sampah di rumah warga, sekarang mereka hanya bisa diam sembari melihat-lihat suasana kiri dan kanan.

“Mau ke atas nggak?” tanya Renan yang memecah kecanggungan.

“Ke atas? Emangnya di atas ada apa?”

“Pemandian. Ada petilasannya juga. Mau lihat?”

“Gapapa?”

“Gapapa. Dulu Pak Lurah pernah ngajak gue sama Jendra lihat-lihat ke sana. Tempatnya nggak sepi. Ada beberapa orang yang berkunjung. Katanya kalau mau awet muda bisa ngelakuin ritual di tempat pemandian itu. Lo pengen awet muda, nggak?” ucap Renan sembari terkekeh pelan.

“Nggak ah, mending make skincare.”

“Nanti kalau udah nyampe di sana. Omongannya dijaga, ya. Jangan ngomong sembarang. Tempatnya sakral. Kalau mau masuk gapapa. Tapi kalau lo nggak mau juga gapapa. Pemandangan dari atas juga nggak kalah bagus, kok.”

Ternyata perjalanan yang Karin kira cuma sebentar membutuhkan waktu selama empat puluh lima menit. Sangat melelahkan ditambah dengan jalanan yang menanjak. Apalagi jalanan tersebut tidak berbentuk aspal melainkan masih berpasir dan banyak kerikil serta batu yang cukup besar.

Ia juga sudah beberapa kali tergelincir dan hampir terjatuh. Untungnya Renan yang dengan sigap berada di samping Karin menahan lengannya agar tidak jadi limbung. Kalau tahu begini, Karin lebih baik menolak ajakan laki-laki itu.

“Masih lama?”

“Itu udah kelihatan,” tunjuk Renan pada palang yang bertulikan nama pemandian tersebut.

Sekarang lelahnya berhasil dibayar saat netra Karin menangkap pemandangan yang sangat menakjubkan. Hamparan sawah yang menggunakan sistem terasering begitu memanjakan siapa saja yang melihatnya. Bahkan sekarang Karin sudah tidak mempedulikan bulir-bulir keringat yang muncul di area keningnya.

Dear, KKNWhere stories live. Discover now