Indera penciuman Kadita menghirup aroma roti yang baru dipanggang, bercampur wangi kopi yang baru saja diseduh dengan air panas. Kombinasi wewangian yang menjadi favoritnya. Bermacam-macam jenis roti tampak dipajang rapi memanjang di etalase berbentuk kotak persegi. Begitu pula dengan beraneka macam jenis kue dan juga tart yang berada di sebelah etalase roti.

Perut Kadita segera berdemo, meminta haknya atas aroma yang terhirup oleh indera penciuman. Namun, Kadita memilih melanjutkan langkah menuju taman bagian dalam bangunan toko roti dan kue itu. Tujuannya datang ke tempat ini untuk menemui Gayatri, bukan untuk memuaskan rasa lapar.

"Halo! Apa kabar?" sapa Gayatri diikuti senyuman lebar yang menampakkan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Duduk sini."

Kadita menoleh ke kanan kirinya. "A-aku sebentar aja, kok."

Wanita berambut sebahu yang diwarnai cokelat kemerahan itu menatapnya usil. "Yakin kamu gak lapar? Udah jam makan siang, loh."

Kadita mengembuskan napas kuat-kuat, sebagai pernyataan kalau perkataan kawan bicaranya benar. Wanita bertubuh kurus itu mengambil tabung berisi cairan disinfektan dari dalam tas, lalu menyemprotkan ke setiap inchi kursi dan meja yang hendak digunakannya. Lantas ia mengeluarkan tisu basah dari tempat yang sama. Namun, belum sempat Kadita mengelap meja, Gayatri mencegahnya.

"Kamu udah semprot bagian itu pake disinfektan. Artinya ...."

"Sudah bersih."

Gayatri kembali tersenyum lebar, lalu mempersilakan Kadita duduk. "Mau pesen apa?" tanya wanita yang mengenakan blus berwarna pastel itu, seraya menyodorkan papan menu pada Kadita.

"Apa aja."

Gayatri menaikkan salah satu alisnya.

Kadita menatap papan menu. Berbagai macam jenis masakan khas dari dalam dan luar negeri, tercetak indah di sana. Sudah lama Kadita tidak memakan sajian ikan laut. Biasanya ada Sinta yang biasa menyiapkan berbagai macam makanan kesukaannya. Hanya saja akhir-akhir ini lebih banyak sajian nusantara yang memanjakan lidah Kadita, meski dalam bentuk mi instan.

"Salmon,"ucap Kadita lirih.

Gayatri mencondongkan sedikit badannya ke arah Kadita. "Apa?"

Kadita menunjuk tulisan salmon teriyaki. "Ini."

Kedua alis Gayatri menaik, diikuti dengan matanya yang melebar.

"Salmon teriyaki."

"Nah, gitu,"puji Gayatri. "Suaramu bagus, lho. Artikulasinya bisa jelas. Hanya perlu ditambah volume-nya aja sedikit lagi."

Kadita menunduk. Butuh waktu lama untuk bisa berbicara seperti saat ini. Sejak Kadita mulai merasa nyaman dengan keberadaan Gayatri, berulang kali psikolog itu meminta kliennya mengoreksi volume suara. Bahkan sampai membuat wanita yang usianya terpaut empat tahun lebih muda itu bosan.

Kadita selalu menanyakan hal yang sama pada Gayatri, seperti saat ini. "Untuk apa ... suaraku harus didengar jelas oleh orang yang tidak aku kenal?"

"Aku gak perlu lagi menerangkan pentingnya bisa berdiri di atas kaki sendiri sama kamu, karena kamu udah melakukannya,"jawab Gayatri. "Perlahan, tapi pasti seperti itu jauh lebih baik, daripada terburu-buru, tapi malah balik lagi ke titik nol waktu udah di tengah jalan."

Kadita kini menatap kawan bicaranya.

Gayatri menyandarkan badannya pada kursi. "Kita ini makhluk sosial, Kadita. Bahkan seorang penyendiri sepertimu tetap membutuhkan-"

"A-aku udah bisa sendiri."

"Tapi, kamu masih sering mengunjungi makam bundamu tanpa mengucapkan sepatah kata pun."

"Karena ... tidak ada yang perlu aku katakan, kan?"

Gayatri hanya tersenyum. "Kita makan dulu, yuk! Sampe lupa belum pesan. Saking senengnya bisa ketemu dan ngobrol lagi sama kamu."

"Kenapa begitu?"

"Begitu gimana?"

"Apa aku ... keberadaanku, membuatmu senang?"

Gayatri terkekeh. "Jelas, dong! Kamu itu punya sesuatu yang bisa bikin orang betah berada di deket kamu, ngobrol sama kamu, bahkan membuat orang lain berdecak kagum sama kamu."

"Kagum?"

Wanita berkulit putih itu mengangguk. "Kamu masih belum mau mengakui kelebihan yang kamu miliki?"

"A-aku hanya ... wanita biasa."

Gayatri menggeleng sambil tersenyum. "Kamu memiliki sesuatu dan kamu menyadarinya, Kadita. Hanya saja ... kamu belum bisa menerimanya. Kamu masih membandingkan dirimu dengan orang lain. Tanpa kamu sadari."

"Tapi, memang aku ... biasa-biasa saja."

"Kamu istimewa, Kadita. Setidaknya untuk orang yang mengenalmu sejak dulu."

Dering telepon seluler Kadita berbunyi, menandakan sebuah pesan diterima. Wanita itu menyelipkan sebagian anak rambut ke belakang telinga, seraya mengintip layar gawai. Mata Kadita membulat, disusul wajahnya yang memucat setelah dia membaca isi pesan itu. Takdir kembali mempermainkan dunianya.

 Takdir kembali mempermainkan dunianya

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.


Terjemahan bahasa Sunda:

¹Sudah tidak ada

²Kenapa tidak naik kendaraan umum, Neng. Naik ojek panas. nanti kulitnya hitam lagi.

³Bukannya perempuan suka cerewet kalau sudah kepanasan. Takut kulitnya hitam. Padahal kulit hitam juga cantik. Duh, ada-ada saja.

 Duh, ada-ada saja

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.


COPY PASTE [Terbit, 2023]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ