2. Dear, Mom

Beginne am Anfang
                                    

Akan tetapi 3 hari setelahnya, Sinta mengalami demam tinggi disertai tubuh yang mengigil. Kadita bingung sekaligus cemas tanpa bisa meminta bantuan para tetangga. Spontan, ia menggendong sang bunda di punggungnya dan bergegas keluar rumah. Tujuannya membawa tubuh yang mulai lemas itu ke rumah sakit terdekat. Beruntung, salah seorang tetangga melihat dan menawarkan diri untuk mengantarkan ibunya Kadita.

Sesampainya di IGD rumah sakit, Sinta mendadak tak sadarkan diri diiringi napas yang semakin memburu tak tentu. Kadita belum bisa melupakan bagaimana kepanikan yang terjadi di sana. Suster terlihat bolak-balik membawa beberapa peralatan serta obat-obatan medis untuk Sinta. Sementara dokter jaga dengan mimik tegang menelepon seseorang entah siapa di seberang telepon. Untunglah, hanya ibu Kadita pasien yang berada di malam buta itu.

Keringat mulai membasahi beberapa lipatan tubuh Kadita. Gemertuk giginya terdengar jelas tanpa bisa dihentikan. Namun, itu belum seberapa dibandingkan saat wanita berambut bergelombang hitam panjang itu melihat kondisi Sinta yang dipasangi beberapa alat medis. Perutnya semakin mulas melilit. Entah berapa kali suster jaga menanyakan Kadita mengenai riwayat kesehatan sang bunda. Akan tetapi, wanita muda itu hanya membisu. Raganya berada di sana, tetapi tidak dengan jiwanya. Bunda yang selama ini selalu terlihat ceria, kini berbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.

Sekonyong-konyong, sekelompok orang berpakaian aneh menerobos masuk pintu IGD. Seluruh tubuhnya dibalut pakaian berwarna putih bersih dengan sarung tangan berwarna biru muda, penutup kepala, dan sepatu boots berwarna senada. Tak lupa masker berbentuk bulat putih menutupi sebagian besar wajah mereka. Detik berikutnya, Kadita dibawa pergi oleh salah seorang di antaranya, sementara yang lain mengerubungi Sinta sebelum mendorong ranjangnya, meninggalkan ruangan IGD rumah sakit.

Kadita memberontak saat orang itu membawanya pergi. Ia ingin menyertai sang bunda. Namun, saat suara pria yang mengaku bernama dokter Ivan itu, memberitahu kemungkinan kalau Sinta terjangkit virus Corona. Baru empat hari yang lalu, berita penyebaran virus itu ia baca di media elektronik. Tulang-tulang tubuh Kadita serasa dilolosi satu per satu

Saat itu, Kadita meragukan perkataan sang dokter. Bahkan ia menolak melakukan prosedur pemeriksaan, untuk mengetahui kemungkinan dirinya mengidap penyakit yang sama dengan Sinta. Rasanya tidak masuk akal jika hanya dalam hitungan hari, virus itu sudah bersarang dalam tubuh bundanya.

Namun, pada akhirnya sang dokter mampu membuat Kadita mau mengikuti prosedur pemeriksaan tersebut. Di saat kondisi sedang tenang itulah, untuk pertama kali Kadita merasakan jantungnya berdebar kencang disertai keringat yang mengucur dari pelipis. Badannya mendadak mengigil, hingga ia merasakan kesulitan bernapas, dan merasa tercekik. Tidak berapa lama, Kadita merasa kehilangan kontrol atas raganya. Setelah mengeluhkan kepala yang berkunang-kunang, wanita muda itu pun tak sadarkan diri.

Saat ia membuka kedua mata, benda-benda berwarna serba putih berada dalam jarak pandangnya. Seorang dokter menghampiri, lalu memberitahukan kalau Kadita sedang berada di ruang karantina rumah sakit. Ia tidak bisa melihat jelas rupa sang dokter, akibat masker dan juga kacamata google tebal yang menutupi wajahnya. Satu hal yang ia yakini, pria itu bukan dokter Ivan.

Kadita lalu menanyakan keberadaan Sinta. Saat itu dokter hanya mengatakan kalau sang bunda dalam perawatan intensif di salah satu bangsal rumah sakit. Sambil tergagap, ia meminta untuk bertemu dengannya, tetapi tidak diijinkan. Dokter masih ingin memantau kondisi Kadita karena hingga saat ini, ia tidak menunjukkan tanda-tanda mengidap penyakit yang sama dengan Sinta.

Belum pernah Kadita merasa nelangsa menunggu di rumah sakit tanpa perkembangan berarti pada bundanya. Dua minggu dirasa Kadita bagaikan dua abad. Padahal, ia sangat suka menyendiri. Namun, tidak pernah tanpa mendengar suara Sinta yang mengetuk pintu kamarnya setiap hendak pergi bekerja.

Seorang dokter menyambangi kamar perawatan Kadita kemudian, lalu memperkenalkan seorang psikolog berusia paruh baya bernama Cakra Pranata, beserta juniornya, Gayatri Pitaloka. Sang dokter menyerahkan sebuah tablet pada Kadita, setelah wanita muda itu duduk di sebelahnya. Tampak sosok Sinta yang tertutup alat bantu pernapasan, menatap layar dengan air mata yang berlinang. Ia hanya sempat mengangkat perlahan salah satu tangannya, sebelum mesin penopang hidup itu mengeluarkan satu nada panjang.

Kilasan itu terpotong dering telepon yang berasal dari ponsel Kadita. Ia mengusap sudut air mata, sebelum mengucapkan salam pada lawan bicaranya di seberang telepon. Gayatri ingin bertemu.

 Gayatri ingin bertemu

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
COPY PASTE [Terbit, 2023]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt