C1-Impian Anwar

31 1 0
                                    

"Bawalah anakku ke negerimu, bawa dia sejauh mungkin, jangan sampai ia hidup sepertiku."

***

Bayang nelangsa menghiasi pikiran pria dengan baju partai dan celana pendek, yang terduduk di tepi tebing tanpa alas kaki. Ia mengusap air matanya, lalu menatap satu kertas kecil berisi gambar, yang membuat fokus pria itu teralih. Rasanya hampa, hidupnya kembali menderita. Banyak harapan yang gagal. Banyak yang hadir dalam hidupnya, sangat ahli menciptakan kegilaan kenangan. Bolehkah dirinya mengungkapkan perasaan sedihnya, yang terus merasuk?

Dia ingin sembuh dari kekecewaan yang menjerat hati dan berharap, harapan usangnya bisa kembali. Tapi, apa boleh buat. Terlalu berharap, membuatnya kehilangan banyak hal.

***

Anwar tidak paham kenapa perasaan senang dan gugup sekaligus datang. Tidak sabar rasanya akan sesuatu yang seminggu ini ia nantikan. Ditemani suara mesin TI rajuk yang bising, membuat detak jantung Anwar terasa seperti melayang.

"Ada apa, Pak?"

Dia tersenyum, mengusap keringat di dahinya seraya berkata, "Mau tanya, sekarang jam berapa, ya?" Orang yang ditanyai itu segera mencari benda kecil di kantongnya, telepon genggam.

"Jam sembilan, Pak."

"Ah, siap. Terima kasih, ya."

Dia segera membereskan pekerjaannya dan bersiap menuju suatu tempat. Meninggalkan setengah pekerjaannya setelah meminta izin pada mandor.

Tanpa alas kaki, pria itu berjalan ke pondok. Pondok kecil yang atapnya terbuat dari plastik biru, tempat peristirahatan para pekerja penggali biji timah.

"Kau terlihat bahagia sekali. Mau ke mana memangnya?" Anwar terkekeh, pria itu mengambil tempat nasinya itu untuk dimasukkan pada tas kecil, bila mana kedua talinya yang terletak pada sisi kanan dan kiri ditarik ke samping, akan terkunci rapat.

"Anakku hari ini lulus SD."

Mendengar itu, Bujang ikut tersenyum dan menepuk pundak Anwar. "Mimpimu sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Kau akan punya putri sarjana!"

"Aku harap juga begitu. Doakan anakku punya niat untuk ke sana. Aku tidak berharap banyak tentang nilainya. Dia sekolah itu sudah cukup."

"Aamiin."

Anwar keluar dari pondok diikuti Bujang. "Aku pamit dulu, aku akan kembali dan mengabarimu, Jang."

"Kau mau jalan apa ke sana?"

"Jalan kaki."

"Dengan pakaian seperti ini?" Bujang mengedarkan pandangannya pada pakaian lusuh Anwar. Pria itu geleng-geleng kepala dibuatnya.

"Kau lihat. Banyak sekali pasir yang melekat di bajumu itu, Nwar. Wajahmu juga penuh bercak putih, kau harus mandi dan berganti baju. Itu lebih baik, ketimbang berpenampilan seperti ini."

Sembari mengikat tasnya di pinggang, Anwar berucap, "Aku sudah terlambat, Jang. Tidak sempat untuk berbenah. Putriku pasti menungguku di sana."

"Terserah kau saja. Aku ingin melanjutkan pekerjaanku. Semoga nilai putrimu tidak mengecewakan."

"Pasti itu. Aku yakin pada putriku. Dia sangat pintar di sekolah. Kemarin, pertanyaan matematika yang aku ajukan, dia bisa menjawabnya dengan cepat dan tepat! Kau lihat saja nanti, dia akan menjadi orang besar."

Setelah mengatakan kalimat itu dengan perasaan gembira, Anwar langsung beranjak pergi, berlari cepat dan melompat kegirangan membawa tasnya.

Bujang yang memperhatikan punggung Anwar yang berlari melewati tanah berbukit merasa ikut senang dan juga haru. Bujang hanya bisa berdoa, kesengsaraan Anwar cepat hilang dan impiannya untuk putri semata wayangnya itu bisa Tuhan kabulkan.

Berkelana pada DukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang