ꕤ 01 : Si Mata Bulat Besar dan Si Putih Pucat Pemarah

353 73 44
                                    


Suara isak tangis, rintihan, serta sirine ambulan sudah menjadi lagu sehari-hari bagi gadis yang kini sedang memandang kosong pemandangan yang ada di hadapannya. Tangan kirinya masih betah memegang erat tiang penyangga infusnya seolah takut bergerak jauh dari sisinya. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya, namun dilihat dari sudut matanya—gadis itu terlihat muak.

Ini sudah bulan ke-tujuh bagi gadis bernama Kim Dahyun itu menghabiskan waktunya di rumah sakit. Alasannya? Tentu saja karena ia sakit, alasan yang sungguh membuat Dahyun muak akan garis takdirnya sendiri. Dahyun menderita gangguan ginjal sejak dirinya menginjak awal remaja, saat ini kondisi kesehatannya berubah semakin serius. Dia didiagnosis menderita gagal ginjal hingga ia membutuhkan pendonor untuk memperbaiki kondisinya. Dalam diam, gadis itu bahkan telah memutuskan garis hidupnya—jika dirinya masih tidak mendapatkan pendonor yang cocok di bulan kedelapan, maka ia memutuskan untuk menyerah supaya ia tidak membebani adiknya Shin Yuna.

Marga mereka berbeda karena ayah mereka memang berbeda, Ayah Dahyun merupakan seorang jenderal yang gugur ketika bertugas saat ia berusia tiga tahun. Dua tahun kemudian ibunya menikah lagi dengan Ayah Yuna, dan satu tahun kemudian Yuna pun lahir. Namun kedua gadis itu harus menelan pil pahit karena tiga tahun lalu mereka harus kehilangan kedua orang tua mereka karena kecelakaan. Peristiwa itu benar-benar memperparah keadaan mereka, termasuk penyakit yang Dahyun derita.

Di sini lah Dahyun sekarang, tepat di atas atap rumah sakit tempat beberapa orang mencari udara segar sekaligus membebaskan rasa jenuh yang mereka rasakan. Angin yang berembus menerbangkan anak rambutnya yang tergerai, matanya menatap tajam ke arah pemandangan yang ada di depannya. Gedung-gedung tinggi, dan suara bising kendaraan yang berlalu lalang di jalanan yang ada di bawah menjadi hiburan memuakkan yang terus ia nikmati setiap harinya.

Tak berapa lama, smartwatch yang dikenakannya bergetar. Dahyun mendengus pelan lalu mematikan alarm pengingat yang berasal dari jam itu. Itu merupakan pertanda bahwa dirinya harus kembali mengonsumsi obat-obatnya, gadis itu pun melangkahkan kakinya untuk membeli sebotol air mineral sebagai teman minum obatnya. Setelah mendapatkan air mineral yang ia butuhkan, Dahyun pun kembali ke atap lalu duduk di kursi kosong yang ada di ujung terpencil. Ia merogoh saku bajunya untuk mengambil beberapa botol obat yang akan ia minum. Namun alih-alih meminum obat yang sudah berada di telapak tangannya, Dahyun justru melempar asal satu-persatu obat itu secara perlahan. Setelah obat yang ada di tangannya habis, Dahyun mengambil kembali obat-obatan itu dari botolnya dan mengulang hal yang sama.


“Berhenti membuangnya! Pikirkan mereka yang sakit sepertimu tapi tidak mampu membeli obat,” celetuk seseorang yang langsung membuat Dahyun menghentikan kegiatannya.

Dahyun menoleh sinis ke arah seseorang yang baru saja mengusiknya. “Apa peduliku! Itu urusan mereka, bukan urusanku!” sinis Dahyun.

“Setidaknya kasihani mereka yang sakit dan ingin memiliki obat itu agar tetap hidup namun tak mampu memilikinya,” tuturnya dengan raut seriusnya.

Dahyun mendecih pelan. “Untuk apa repot-repot mengasihani orang lain ketika diriku sendiri saja masih patut untuk dikasihani,” sungut Dahyun yang langsung membuat orang itu tergelak.

“Kau patut dikasihani? Yang benar saja, lihat saja sikapmu yang seperti itu. Pantas saja tidak ada yang berbelas kasih padamu!” ejeknya yang tentu saja langsung membuat Dahyun semakin geram dibuatnya.

“Kau!!!”

“Ambil kembali obat-obat yang kau buang, pikirkanlah orang yang membelikanmu obat itu dengan susah payah!” titahnya yang langsung membuat Dahyun semakin menggertakan giginya.

“Beraninya kau mengaturku? Memangnya kau siapa?” ketus Dahyun.

Laki-laki itu mengulum senyumnya, “Aku? Kau ingin mengenalku?” ucapnya dengan nada menyebalkan.

5 Days With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang