SEBELUM MALAM PETAKA.

467 61 18
                                    


“Fat... Fat!”

Seruan di belakang punggungku memanggil tak sabar. Bukan sebab angin danau yang membawa samar desaunya hingga daksa ini tidak ingin menoleh pada sang pemilik suara. Melainkan... rasa muak!

Untuk apa dia datang ke tempat ini?! Dia kira aku masih memiliki dahaga atas romansa yang pernah kami miliki?

Jangan harap!

“Fat, ayo kita ngobrol dulu.” Langkah kakinya semakin dekat di gendang telinga. Gegas kutambah kecepatan langkah kaki.

Jika bisa menghilang, aku ingin menghilang detik ini juga. Cuma agar aku tak kelepasan meludahi wajah rupawan mantan penguasa hatiku dulu.

“Fat. Berhenti!!!” Nada dari tenggorokannya naik beberapa oktaf. Aku tersentak. Sang pemilik suara mengaitkan tangan besarnya di pergelanganku dengan cepat. Kemudian membuatku membalikkan tubuh secara paksa dengan satu kali entakkan.

“Apa sih?!” Aku mendengkus. Lalu membuang tangannya yang masih menempel di pergelangan tanganku dengan kasar.

Doni tampak menarik napas di tengah dadanya yang naik turun tak beraturan. “Ayo bicara dulu.”

“Tidak mau!”

“Fat. Please....”

“Ti.dak ma.u!”

“Kamu harus pulang. Data nasabah yang harus kamu survei wawancara, belum sepenuhnya selesai.”

Oke! Alasan yang cerdik! “Terus?”

“Berkas pembiayaan juga belum semuany kamu kerjakan. Kamu tidak bisa lari dari tanggung jawab begitu saja. Kami akan dalam masalah kalau kamu bersikap begini.”

“Ada lagi?”

“Seharusnya banyak. Kerjaanmu juga hampir semuanya berantakan. Kamu harus pulang.”

“Pak Doni yang terhormat. Seperti yang sudah Anda ketahui, wanita di depan Anda ini mangkir dari tempat kerja, yang mana artinya, saya bukan lagi karyawan di sana.”

Doni menggelengkan kepala tidak setuju dengan pernyataanku. Senyum terbit di bibirnya. “Fatma team kerjaku terkasih. Dalam kontrak, Anda tentu tahu bukan? Bahwa seorang karyawan baru bisa di katakan mengundurkan diri dan akan di non aktifkan harus menunggu waktu selama satu bulan. Jadi mari kita pulang karena kertas-kertas yang menjadi tanggung jawabmu sudah menumpuk di meja kerja.”

Gigi gerahamku mengetat. “Saya mangkir, Pak. Bukan mengundurkan diri.”

“Nah, itu masalahnya.” Telunjuk Doni terangkat ke udara. “Saya belum melaporkan kemangkiranmu. Jadi Anda masih bisa memperbaiki semuanya.”

“Anda ini atasan yang biasa kerja seenak udel, ya? Anda menyalahi aturan yang seharusnya, loh, Pak. Orang mangkir kok nggak segera di up date. Sebentar...,” kupasang wajah berpikir keras. “Aku punya email pemimpin pusat. Kira-kira perlu tidak ya, saya laporkan masalah ini?” serbuku balik. Demi apa pun aku seperti seorang pencuri yang meneriaki orang lain mencuri.

Kulihat Doni si Manager Area membuang napas kasar. “Oke. Stop perbincangan tidak penting ini. Kamu liat lelaki bodoh ini? Sekarang ada di sini, menurutmu apa artinya? ...Fat, Jawa ke Kalimantan Timur itu jauh, loh,”

Hah, dia kira aku akan terenyuh hanya dengan mengingatkan jarak yang ia tempuh untuk menemuiku?

Dia mungkin lupa kalau wanita di depannya jauh lebih perlu dikasihani dibandingn dirinya jika itu perkara alasan mendatangi Tanah Etam. Aku menempuh jarak yang tak sedikit dengan perasaan yang habis terkoyak sebab pengkhianatannya. Di bandingkan aku, dia tak ada apa-apanya.

December RainyWhere stories live. Discover now