YANG SERUPA PERI, TAPI MILIK SI KAKEK TUA (POV: GESAN AJI MERE)

1.9K 330 44
                                    

Kepalaku sakit. Mood-ku berantakan.

Semalam aku tidur sangat terlambat.

Harusnya setelah memasukan lembaran-lembaran hasil belajar siswa-siswi ke dalam rapor, aku bergegas meninggalkan sekolah. Bukan malah meladeni Leddu membicarakan masa lalu.

Aku tahu Leddu sama kehilangannya seperti aku. Aku paham dia yang paling menyedihkan dalam hal ini.

Mencintai sahabat sendiri yang meminta izin mencintai pria lain itu sudah sangat menyakitkan. Ditambah lagi, Leddu harus menerima Tuhan tak hanya tidak menyatukan nama mereka di Lauhul Mahfuz tapi kini mereka harus terpisah alam.

Tapi tetap saja, Leddu malam tadi keterlaluan.

Leddu egois!

Aku tak pernah menyebut nama Ampa, bukan karena aku sudah melupakan dia.

Tidak!

Ampa kami adalah wanita berharga. Aku tidak ingin mengotori kepergiannya dengan air mata.

Siapa aku? Aku belum menjadi siapa-siapa bagi Ampa? Lantas, pantaskah aku meraungi kepergiannya setiap saat, sepanjang masa?

Leddu mana tahu seberapa luas ruang kosong dalam dadaku yang ditinggalkan oleh Ampa. Leddu tidak tahu seberat apa aku menanggung rindu dari perpisahan kami.

Namun, dia tidak perlu tahu dan aku tak berniat memberitahunya. Bagiku, lukaku, kehilanganku, hampaku, cukup bagiku saja. Orang lain tak perlu tahu hanya untuk mengasihani.

Pagi ini jadwal pembagian rapor. Itu artinya Leddu tidak bisa hilang dari pandanganku untuk satu hari saja, padahal kesal di hati belum lagi habis.

Sudahlah, mari lalui siang ini dengan mengontrol mood dan menjadi manusia pemaaf.

                             ***
Saat ini sekolah lebih ramai dari biasanya. Suara tawa terbahak ala bapak-bapak dan bau tembakau dibakar mulai memasuki gendang telinga dan indra pencium.

Tidak ketinggalan sinetron yang ditonton Indo semalam, kembali kudengar dikisahlan oleh sekelompok ibu-ibu yang menunggu wali kelas anak mereka memasuki ruangan saat aku melewati kelas tiga barusan.

Sedangkan siswa-siswi sibuk dengan kegiatan bermain masing-masing. Ada yang bermain kelereng di bawah pohon kelapa yang tumbuh di pinggir pagar kayu sekolah. Ada pula yang bermain petak umpat dan kejar-kejaran di tengah lapangan. Pun, di dekat tangga kelas empat, gerombolan murid perempuan asik bermain lompat tali sambil cekikikan menertawkaan satu sama lainnya.

Aku berjalan tegas menuju kelasku diikuti Hasan di belakang. Teman sekaligus siswaku tersebut membantu membawakan sebagian rapor yang akan aku bagikan.

Sebelum memasuki ruangan, aku sempatkan untuk memberi isyarat dengan menempel telunjuk di bibir kepada murid perempuan di dekat tangga agar jangan terlalu ribut.

Mengerti dengan peringatanku, mereka bergeser tempat ke pinggir lapangan—di dekat anak lelaki bermain kelereng.

Aku memberi salam saat memasuki ruang kelas. Kursi yang biasa di duduki oleh siswa dan siswiku kini telah di tempati oleh orang-orang dewasa. Berhubung bangku dan meja tidak mencukupi untuk menampung banyak orang, maka kepala sekolah menginstruksikan agar hanya wali siswa saja yang masuk dalam kelas. Sementara siswa-siswi itu sendiri di perbolehkan untuk bermain di lapangan sekolah.

Setelah menyampaikan pesan kepala sekolah dan hal-hal yang aku anggap perlu untuk aku sampaikan selesai. Aku mulai menyebutkan dan memanggil terlebih dahulu nama siswa yang meraih peringkat satu, dua dan tiga. Kemudian disusul dengan peringkat selanjutnya.

December RainyWhere stories live. Discover now